Sebuah Ikhtisar Pengantar Prof. DR. Ahmad Syalabi berkaitan Bani Umayyah
Ketika membahas kekhalifahan Umawiyah dan gerakan pemikiran pada masa itu, didapati banyak kesulitan dalam penulisan sejarahnya. Banyak faktor penyebab merosotnya nilai Bani Umayyah baik disengaja maupun tidak pada buku-buku sejarah saat ini. Kebanyakan buku-buku sejarah sekarang jarang menyanjung kebesaran kepemimpinan para khalifah Umawiyah. Malah dalam kebanyakan buku itu kita dapati celaan, tuduhan, dan kecaman terhadap mereka. Ada yang mengungkapkannya secara panjang lebar namun ada pula yang hanya sederhana. Sedangkan mereka yang paling membatasi diri hanya menyebutkan celaan saja.
Hal ini terjadi dikarenakan Bani Umayyah terpaksa selalu berjuang melawan kelompok Bani Hasyim. Mu’awiyah misalnya, terpaksa brjuang melawan Ali dan ia berhasil meraih kemenangan. Yazid bin Mu’awiyah berjuang melawan Husain, putera Ali, dan akhirnya Husain harus mati di ujung pedang Yazid. Begitu pula cucu Husain, Zaid bin Ali bersama puteranya, Yahya, tewas dalam pertempuran melawan pasukan Bani Umayyah.
Tetesan darah mereka besar pengaruhnya terhadap terhadap riwayat dan penulis buku sejarah. Penulis dan ahli riwayat dari golongan Syi’ah misalnya, selalu mengungkapkan kemarahannya terhadap Bani Umayyah, menggambarkan bahwa Bani Umayyah selaku manusia kasar dan buas. Sebaliknya mereka memberikan sanjungan kepada Ali serta anak cucunya. Adapun ahli riwayat dari luar Syi’ah tidak berpendapat seperti itu. Akan tetapi mereka berusaha sedapat mungkin untuk tidak menyinggung pendapat umum. Mereka lebih mengutamakan diri sendiri. Sebab itu, mereka menghindari membicarakan permasalahan tersebut di atas, atau kalau membicarakannnya maka hanya sekilas saja.
Tak dapat dibantah bahwa situasi akan berbeda sekali seandainya tuduhan memberikan perlindungan kepada pembunuh-pembunuh Utsman dan kemudian membentuk tentara dari mereka ini dilemparkan oleh Mu’awiyah kepada orang lain, bukan kepada Ali. Begitu juga seandainya Yazid bin Mu’awiyah dulunya tidak memusuhi dan menewaskan Husain bin Ali. Jadi sebenarnya masalah ini bukanlah kesalahan besar dalam sejarah. Soalnya adalah keinginan suatu golongan dari tetesan darah Ahlul Bait itu. Orang Syi’ah dan pendukungnya telah menggunakan peristiwa ini sebagai alat untuk merangsang pendapat umum terhadap Bani Umayyah. Di masa itu, orang-orang Syi’ah merupakan gerombolan pengacau keamanan dan pemberontak walau mereka sama sekali tidak punya hubungan dengan Ali dan anak cucunya. Malah seringkali, orang-orang inilah yang menipu serte mengkhianati Ali dan keturunannya. Katakanlah: orang-orang Syi’ah inilah sebenarnya yang telah membunuh mereka dengan pedangnya, dan setiap kali selesai membunuh, mereka pura-pura meratapi si korban dan menuntut balas atas kematiannya itu.
Gerombolan pengacau ini sangat ditakuti, termasuk oleh para ahli riwayat, sehingga mereka tidak berani menulis tentang kejayaan Bani Umayyah dengan sebenarnya. Demikian pula ahli sejarah, tidak berani menuliskan keterangan ahli riwayat yang sampai kepada mereka. Dengan demikian lenyaplah fakta sejarah dalam kegelapan yang ditimbulkan oleh orang yang menamakan diri ‘Syi’ah Ahlul Bait’, padahal mereka adalah musuh paling jahat terhadap Ahlul Bait dan juga terhadap Islam.
Sebelum fakta-fakta ini sempat dituliskan, Daulah Umayyah runtuh dan berdiri Daulah Abbasiyah. Daulah Abbasiyah ini kemudian mengikis habis sisa kejayaan Bani Umayyah yang masih ada, malah mereka telah melakukan hal-hal yang menambah gelap dan buruknya sejarah Bani Umayyah.
Pada hakikatnya, orang-orang Alawiyin (pengikut Ali) lebih banyak menderita di bawah penindasan Bani Abbasiyah dibandingkan dengan tindakan Bani Umayyah. Akan tetapi, fakta ini tidak tercatat dengan sempurna di buku sejarah karena Daulah Abbasiyah itu telah diberkati dengan umur panjang dan di masa kekuasaannya yang panjang itu baru dimulai penulisan sejarah. Sebab itu, apa-apa yang ditulis ahlis ejarah di masa itu jelas terpengaruh oleh kekuasaan Bani Abbas.
Yazid bin Mu’awiyah telah dituduh sebagai orang bodoh dan jahat perangai, begitu pula Yazid bin Abdul Malik dan puteranya, Al Walid. Tapi tanpa ragu, kita dapat berkata bahwa ada berpuluh-puluh orang diantara khalifah Abbasiyin dan Fathimiyin malah lebih bodoh, lebih zindiq, dan lebih jahat perangainya disamping adanya kelemahan, kemerosotan dan segala macam sifat politis dan moral yang tak dapat kita sebutkan di sini. Sejarah telah menutupi banyak diantara keburukan mereka dan menumpahkan kesalahan serta mencari-carai kesalahan tersebut kepada Bani Umayyah.
Meski diantara khalifah Bani Umayyah terdapat beberapa khalifah yang lemah, suatu keniscayaan dimanapun, tanpa ragu dapat kita sebutkan beberapa khalifah Bani Umayyah yang dapat diletakkan pada taraf tinggi sejajar politikus dunia pada segala masa, nama-nama itu adalah Mu’awiyah, Abdul Malik bin Marwan, Al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz serta beberapa khalifah di Andalusia. Sedangkan khalifah yang serupa tarafnya dari Bani Abbasiyah, Fathimiyah, dan Adarisah sangat sedikit.
Agak aneh ketika saat ini kita menerima sepenuhnya apa-apa yang ditulis sejarawan di masa itu. Maka hal ini berarti pemahaman sejarah kita diliputi ketidakadilan. Sepatutnya sejarah Bani Umayyah ditinjau kembali. Penulisan harus berdasarkan fakta yang benar dan dicari dari bekas peradaban dan kebudayaan yang ditinggalkan Bani Umayyah. Hal ini dapat kita saksikan di Damaskus dan berbagai kota Islam lain serta beberapa kota di Andalusia. Begitu pula berbagai hal hasil pemikiran Bani Umayyah seperti dinas pos, alat pencetak uang, arabisasi kantor-kantor pemerintahan, organisasi tentara, dan lainnya. Begitu pula dari berbagai pembebasan wilayah Islam.
Bani Umayyah juga dituduh sebagai Penguasa Arab, bukan Penguasa Islam, karena tuduhan Bani Umayyah melakukan penindasan terhadap bangsa non Arab. Bahkan hal ini dilontarkan oleh sejarawan Eropa dari Jerman, Wellhausen. Tetapi secara jujur, hal ini tidak benar. Bangsa Persia yang bukan Arab itu sejak awal telah menggabungkan diri kepada Ali sejak masa-masa awal dan mereka memerangi pasukan Mu’awiyah. Kemudian mereka menimbulkan banyak kekacauan, kerusakan dan peperangan kepada Bani Umayyah.
Maka masalah yang sebenarnya tidak lebih dari mempertahankan diri dan rasa saling benci antara Persia dan Bani Umayyah. Di Syiria, yang merupakan markaz Khilafah Umawiyah, pada masa itu banyak bangsa bukan Arab. Begitu juga Mesir dan Afrika Utara. Mereka ini tidak mengalami kemarahan Bani Umayyah seperti halnya Persia yang sejak awal memusuhi dan mencari-cari api permusuhan.
Satu hal yang patut disesalkan dan merupakan kesalahan Bani Umayyah adalah mereka telah mencaci Ali bin Abi Thalib sejak masa hidupnya. Hal ini berlangsung hingga setelah kematiannya. Kadaan ini menimbulkan pertanyaan, kenapa Mu’awiyah tidak dapat berlapang dada, untuk menghentikan cacian terhadap musuhnya yang telah meninggal itu?
Disini, kami berpendapat bahwa hal ini (walaupun dianggap sebagai aib pribadi, namun tidak mengurangi kebaikan Mu’awiyah serta pahlawan-pahlawan Umayyah lain) jika ditinjau dari segi politis, maka sebenarnya Bani Umayyah terpaksa mlakukan tindakan itu untuk untuk membelokkan rakyat umum dari pemujaan terhadap keluarga Ali yang semata-mata hanya berdasarkan kepada kedudukan ‘Ahlul Bait’, tidak lebih dari itu!
Abdul Aziz bin Marwan, pernah menjelaskan hal ini dalam prcakapan dengan Umar bin Abdul Aziz. Umar mengisahkan, “Ayahku, Abdul Aziz bin Marwan, bila berpidato amatlah lancar dan lantang suaranya, tetapi apabila hendak mnyebut Amirul Mu’minin (Ali bin Abi Thalib) dalam pidatonya, ia tertegun-tegun. Aku tanyakan padanya tentang hal itu. Ia menjawab, ‘Anakku, rupanya engkau mengetahui keadaanku itu?’ Aku jawab, ‘Iya!’ Lalu ia berkata, ‘Anakku, kau harus tahu, bahwa rakyat umum, seandainya mereka mengenal Ali itu sebagimana yang kita kenal, niscaya mereka semua akan meninggalkan kita dan akan berpihak kepada puteranya.’” (Ibnu Thaba Thiba: Al Fakhri)
Dari sini jelas bahwa caci maki Bani Umayyah merupakan ‘obat’ untuk rakyat umum. Kita percaya bahwa seseorang yang meninggalkan Mu’awiyah dan berpihak kepada Ali, dapat mengemukakan alasan-alasan untuk membenarkan tindakannya itu. Tapi kenyataannya, rakyat umum meninggalkan Mu’awiyah dan bergabung bersama putera Ali bukan karena kecakapan yang dimilikinya dan bukan keunggulan dalam bidang politik dan perang melainkan semata-mata karena dia putera Ali! Tidak lebih dari itu. Dan sentimen rakyat umum inilah yang yang mendorong Bani Umayyah untuk mencaci Ali dan menumpahkan keburukan kepadanya, walaupun besar kemungkinan hati mereka mengingkari hal-hal itu (isi caci maki kepada Ali).
Yang menyebabkan kita mencari alasan seperti itu dalam mencaci Ali adalah bahwa Mu’awiyah merupakan seseorang yang lapang hati, penyantun dan suka memberi maaf. Dan kelapangan hati ini terbukti kpada ‘Amru bin Al ‘Ash sehingga ia berhasil merangkulnya ke pihaknya (Mu’awiyah). Padahal sesungguhnya hubungan Mua’wiyah dan ‘Amru bin Al ‘Ash bukanlah hubungan yang harmonis. Begitu pula kelapangan Mu’awiyah terhadap Ziyad bin Abihi, padahal sebelumnya Ziyad adalah pendukung Ali yang setia dan sangat membenci Mu’awiyah. Setelah Ali meninggal, Mu’awiyah memberikan jaminan keamanan dan pengampunan untuk Ziyad dan bahkan berusaha mengambil hatinya. Selain itu, Mu’awiyah juga menunjukkan kemurahan hatinya kepada Mughirah bin Syu’bah yang telah menjauhkan diri dari kekacauan. Begitu pula terhadap Marwan bin Al Hakam yang telah meberikan bai’at pengangkatan khalifah kepada Ali. Akhirnya begitu pula terhadap yang lain-lain seperti putera-putera Ali, Hasan dan Husain, sehingga mereka tidak pernah mengalami hal-hal yang tidak baik di masa hidup Mu’awiyah dan Mu’awiyah tidak pernah mengurangi sedikitpun apa-apa yang telah dijanjikannya kepada mereka. Jadinya, faktor yang mendorong Mu’awiyah melanjutkan sikap mencaci Ali ialah untuk memperkokoh kekuasaannya, dengan mengalihkan perhatian rakyat umum dari Ali dan putera-puteranya.
Dalam pengantar ini kita ingin mengingatkan ahlis sejarah, terutama kaum muslimin sndiri terhadap kemurahan hati, cinta damai, dan kelapangan dada yang yang telah dikenal pada pribadi-pribadi pahlawan seumpama Mu’awiyah, Abdul Malik, Al Walid, dan Umar bin Abdul Aziz. Tak lupa usaha-usaha penyebaran Islam yang dilakukan merka dengan baik sebagai penakluk (pembebas-pkj), guru dan mubaligh. Tiga orang pertama diatas adalah pembebas yang memancangkan bendera Islam di berbagai daerah sehingga menaungi berjuta-juta ummat manusia. Sedangkan yang keempat, Umar bin Abdul Aziz, dengan sifat keutamaan dan cinta damai yang dimilikinya, telah menarik yang berjuta itu masuk Islam dengan sendirinya. Memang benar bahwa daerah Andalusia telah dibebaskan oleh Bani Umayyah kemudian terlepas dari tangan kaum Muslimin, tetapi hal ini tidak terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah itu. Yang bertanggungjawab itu adalah mereka yang memegang pemerintahan selanjutnya.
Inilah penerang kita dalam membahas Kekhalifahan Bani Umawiyah, yaitu membenarkan yang benar, serta mengingatkan manusia yang belum menginsyafinya selama ini. Yaitu mereka yang memahaminya hanya menurut apa yang digariskan berbagai alairan selama ini, tanpa memikirkan benar atau salahnya, tanpa ada kesadaran pikiran untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan benar. Dan kita pada masa modern ini memerlukan pemerintahan seperti pemerintahan Bani Umayyah yang akan dapat mewujudkan kembali “Persatuan Dunia Islam” dan menggalang kekuatan yang maha dahsyat, yang dulunya pernah menggetarkan kerajaan-kerajaan terbesar di masa itu. Dan kita akan melanjutkan pembahasan ini tanpa permusuhan terhadap Bani Umayyah, dan tidak pula bertindak sbagai pembela-pembela mereka, tetapi sebagai orang yang mencari kebenaran walaupun banyaknya kesulitan untuk mencapai tujuan tersebut. Dan bila nanti kita menemukan kebenaran, maka dengan gembira kita akan mencantumkannya tanpa menoleh ke yang lain lagi.
Apa-apa yang telah disebutkan disini menyebabkan kita harus mengritik terhadap ucapan Nicolson dalam A Literary History of The Arabs yang mengatakan, “kaum Muslimin menganggap kemenangan Bani Umayyah di bawah pimpinan Mu’awiyah itu sbagai kemenangan aristokratis-watsaniyah yang telah memerangi Rasulullah dan para shahabatnya dan yang telah ditumpas oleh Rasulullah dalam perjuangannya yang memakan waktu yang lama, sampai mereka bertekuk lutut di hadapannya.”
Kita sungguh tidak mengerti, kaum muslimin manakah yang dimaksud Nicolson ini. Adapun yang dituturkan dengan tegas oleh sejarah ialah bahwa dalam masa pertarungan antara Ali dan Mu’awiyah, kekuatan Muawiyah semakin hari semakin bertambah, dan sebaliknya pihak Ali semakin lemah. Dan banyak tokoh-tokoh kaum muslimin datang berpihak kepada Mu’awiyah dan memberikan dukungan padanya setelah menyaksikan kemenangan Mu’awiyah semakin nyata. Sedangkan dalam pengikut-pengikut Ali telah terjadi kekacauan dan pembangkangan terhadapnya, sehingga tidaklah mengherankan bahwa sesudah wafatnya Ali, semua kaum Muslimin telah bergabung kepada Mu’awiyah. Dan Mu’awiyah sendiri telah menjelaskan sebab-sebab kemenangannya itu, antara lain karena ia lebih akrab kepada Quraisy dibanding dengan Ali. Dan ini adalah suatu hal yang benar, yang cukup jelas, hampir bagi semua orang yang mengadakan penyelidikan dalam sejarah Islam.
Muawiyah berkata, “Ada empat macam faktor yang telah menolongku untuk mengalahkan Ali. Pertama, aku senantiasa menyembunyikan rahasia, sedang Ali suka membukakan rahasianya. Kedua, aku mempunyai tentara terbaik dan amat patuh, sedang Ali mempeunyai tentara yang paling jelek dan amat pembangkang. Ketiga, aku biarkan ia bertempur melawan pasukan Aisyah yang menunggang unta, dan aku berkata dalam hatiku, ‘Jika mereka dapat mengalahkan Ali, sudah barang tentu aku lebih mudah mengalahkan mereka, dan jika Ali dapat mnegalahkan mereka, aku akan menuduhnya sebagai pembunuh mereka.’ Keempat, aku lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy daripada Ali.” (Ibnu Abi Rabbih: Al ‘Iqdul Farid)
Ustadz Al Khudari berpendapat mengenai pribadi Ali bahwa ia bukanlah orang yang disenangi para pemimpin di masanya, karena ia mengabaikan musyawarah, dan ia terlalu percaya akan dirinya. Ia berkata, “Sebab yang terutama dari tidak stabilnya keadaan di masa pemerintahan Ali ialah karena ia terlalu percaya pada dirinya dan memandang hanya pendapat dirinya sajalah yang benar. Jarang atau hampir tak ada dia (Ali) bermusyawarah dengan orang-orang besar Quraisy, dalam urusan penting sekalipun. Malah terhadap beberapa orang besar Quraisy tersebut ia terlampau keras. “
“Umar, “ lanjut Ustadz Al Khudari, “memang bersikap keras, tetapi rakyat menyokongnya semua, dan Ali bersikap keras pula, tetapi sebagian besar rakyat menentangnya.” (Tarikhul Umamil Islamiyah)
Tampaknya Nicolson mengemukakan pendapatnya yang dangkal itu dengan kenyataan bahwa Bani Umayyah itu sudah terlambat masuk Islam. Tetapi hal itu tidaklah dapat dijadikan ukuran yang benar. Khalifah Umar pun lebih kemudian masuk Islam dibandingkan Utsman, Sa’ad, Thalhah, dan Zubair, tapi tidak seorangpun dapat melebihi Umar dalam kekuatan Islamnya. Dan kaum muslimin semuanya, termasuk Rasulullah sendiri, pernah memberikan kehormatan yang tinggi kepad Abu Sufyan (ayah Mu’awiyah) dengan menunjukkan rumahnya sebagai suatu ‘haram’ dimana orang-orang bisa mendapatkan keamanan dan ketenteraman.
Dan ketika Mu’awiyah dinobatkan sebagai khalifah, rakyat semua mematuhinya, tetapi ketika Ali dinobatkan sebagai khalifah, ribuan rakyat di sana-sini memprotesnya dan menyatakan ketidak senangannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Van Floten, dalam As Siyadatul Arabiyah wa Siyasiyah wal israiliyat fi ‘Ahdi Bani Umayyah, yang berkata bahwa sebagian besar bangsa Arab memandang rejim Bani Umayyah itu sebagai rejim agama dan ketertiban.
______________________________
Maraji’:
Prof. DR. Ahmad Syalabi: Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2, Pustaka Al Husna, 1992
Sumber: Sebuah page pecacai Syiah di Facebook
No comments:
Post a Comment