Thursday, June 16, 2011

Segala yang berlebihan akan berakhir mengecewakan

Segala yang berlebihan akan berakhir mengecewakan.



“ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal “ ( QS. Al Isra “29 ).

Bahasan ini dimulai dengan sebuah kisah, ketika seorang sahabat mendengar dan melihat satu sikap yang berlebihan dari seseorang yang merasa tidak puas. Lelaki itu menyebar isu, bahawa Rasulullah telah berlaku tidak adil.

Muasalnya, sesudah perang Hunain. Rasulullah sengaja membahagi hasil Ghanimah dengan beberapa pertimbangan, bahawa ada beberapa pihak yang harus diberi lebih.

Dan seseorang yang melihat itu, lalu terjangkiti penyakit berlebihan, Ia menyebar gossip : “Demi Allah, sunguh, ini bukan pembagian yang adil. Bukan pula sebuah pembagian yang ditujukan untuk mencari ridha Allah”.

Mendengar itu, Abdullah bin Mas’ud terperangah dan ia pun berucap, “Demi Allah, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah”. Dan setelah dia memberitahu khabar itu, wajah Rasulullah langsung berubah merah, dan berkata ; “Kalau Allah dan Rasul-Nya tidak berlaku adil, siapa lagi yang akan berlaku adil. Semoga Allah merahmati Musa, telah disakiti lebih dari ini, tetapi ia tetap sabar.”

Menyaksikan itu, Abdullah bin Mas’ud berkata , “Saya tidak akan mengadu apapun kepada Rasulullah sesudah ini”. Rupanya Abdullah menyesal, telah membuat Rasulullah sedih. Abdullah tidak salah. Dan melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah juga bukan tindakan salah. Tapi atas dasar cinta dan rasa hormatnya kepada Rasulullah, ia tidak rela melihat Rasulullah sedih. Meski penyebab utama kesedihan itu adalah perilaku orang lain.

Di hari-hari awal permulaan agama ini, pelajaran tentang sikap dan perilaku telah ada. Bahawa berlebih-lebihan akan berakhir mengecewakan. Kata kuncinya pada kemengertian dan pemahaman. Dan di situ biasanya timbul masalah terbesar kita. Kita tidak mengerti, tetapi merasa tahu. Kita tidak tahu, tetapi merasa menguasai. Lalu dari situ keluar sikap berlebihan .

Lelaki itu, yang merasa lebih adil dari Rasul itu, kelak ia akan menjadi sulbi bagi lahirnya keturunan orang-orang Khawarij, generasi ekstrim, generasi yang berlebihan. Dalam riwayat lain, lelaki itu adalah Dzul Huwaisirah. Yang perilakunya dijelaskan oleh Rasulullah : “Biarkanlah dia. Sesungguhnya dia mempunyai banyak teman. Akan dianggap remeh solat kalian dibanding solat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al-Quran tidak sampai kecuali pada tenggorok mereka. Mereka benar keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busur”. ( HR. Bukhari dan Muslim ).

Karena itu, kita harus selalu memberi ruang di dalam hati kita akan adanya lubang hitam (black hole) yang memberi cacat di dalam kepribadian kita, baik secara personal mahupun secara kolektif. Berlebihan, bahkan dalam isu kebaikan sekalipun bisa keliru. Tidak hanya soal adil. Sebab ratusan nilai yang kita anut harus kita sikapi secara benar.

Jiwa kita selalu berada di antara dua sifat yang saling tarik menarik. Sehebat apapun kemampuan kita, mugkin saja kita salah. Tak ada yang lebih indah dari nasihat Imam Syafi’e, “Pendapat orang lain salah, tapi mungkin mengandungi kebenaran. Pendapatku benar, tapi mungkin mengandungi kesalahan.”

Lebih buruk dari itu semua, bila kita menjadi penggembira yang tak pernah tahu apa sesungguhnya inti permasalahannya. Bahkan seorang Abdullah bin Mas’ud merasa menyesal, telah membuat Rasul sedih. Meski ia tahu inti masalahnya. Jangan sampai kita menjadi lelaki yang tidak sopan itu dalam zaman yang berbeda. Setidaknya kita bisa belajar menjadi seperti Abdullah bin Mas’ud.

Pesan itu adalah, bahawa menyelesaikan masalah dengan meramaikannya ke sana ke mari belum tentu akan menemukan hasil yang lebih baik. Sebab di situ kita bisa terseret pada sikap berlebihan. Diawali dari rasa ingin tahu yang terus mendayu-dayu memanggil. Lalu diiringi oleh syahwat informasi yang semakin sulit dipuaskan. Syahwat ini menelan informasi sebanyak mungkin, lalu memformulasikannya dalam perasaan lebih tahu. Tapi sesudah itu, syahwat terus meminta suapan informasi baru. Layaknya minum air laut. Semakin banyak bukan semakin mengubati dahaga kita, namun semakin haus.


Pilih yang pertengahan !

Islam ini adalah agama yang lurus, lembut, toleran dan penuh keseimbangan. Ia datang membawa ajaran al wasath : pertengahan. Di dalamnya tidak ada ajaran ghuluw (berlebih-lebihan) sehingga melampaui batasan yang telah ditentukan oleh Allah swt, dan tidak pula ada ajaran taqshir (meremehkan dan melalaikan), sehingga mengurangi batasan yang telah ditentukan.

Al wasath di dalam agama ini, ertinya berpegang teguh pada perilaku Nabi SAW, dalam aspek apa pun. Sebab perilaku beliau adalah contoh paling sempurna, tidak ada perilaku beliau yang melampaui batas dan ada yang sangat kekurangan sehingga menimbulkan cela dalam diri beliau.

Ketika ada tiga orang lelaki datang kepada isteri beliau, Aisyah ra, menanyakan tentang ibadah beliau. Mereka semua merasa sangat jauh dari sosok beliau yang sempurna. Maka lelaki pertama berkata : “Kalau begitu, aku ingin melakukan solat malam dan tidak akan tidur sepanjang tahun.” Yang kedua berkata : “Aku akan berpuasa di siang hari dan tidak akan berbuka”. Sedangkan yang ketiga berkata, “Aku tidak akan menikahi wanita mana pun”.

Dan berita tentang mereka pun sampai kepada Rasullah. Saat itu beliaupun bersabda; “Ada apakah gerangan suatu kaum yang mengatakan begini dan begitu padahal aku ini juga melakukan solat dan tidur, berpuasa dan berbuka, dan menikahi wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku,maka dia tidak termasuk kedalam golonganku.” ( HR .Bukhari).

Hidup ini begitu lekat dengan pelbagai ragam persoalan, pilihan dan tuntutan keadaan. Dan dalam menghadapinya, kita biasanya akan berada di dalam dua sikap.

1. Terlalu tegas melahirkan kezaliman, dan terlalu toleran melahirkan ketidak berdayaan.

Tegas dan lembut, keduanya dapat menghasilkan sesuatu yang baik manakala dijalankan secara seimbang. Akan tetapi, ketika sikap itu dijalani secara berlebihan, maka akibatnya bukan saja masalah yang ada tidak dapat diselesaikan, bahkan mungkin akan membawa pada penyesalan.

2. Terlalu memuliakan melahirkan pengkultusan, dan terlalu merendahkan memperlihatkan kebodohan.

Sesungguhnya Allah mencintai sikap adil di dalam menyikapi orang-orang soleh, iaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan mereka, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam ayat-Nya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”.

Allah mencintai sikap adil dan pertengahan, serta membenci sikap yang berlebihan. Allah berfirman, “Wahai Ahlul kitab, janganlah kamu berbuat ghuluw dalam beragama dan jangan pula kalian mengatakan tentang Allah kecuali di atas kebenaran”.

Ghuluw : ialah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela.

Panduan memuji dari Rasulullah : “Apabila kamu ingin memuji temanmu tanpa ada unsur mengada-ada maka katakanlah, “Menurutku si fulan itu demikian dan demikian (jika ia memang seperti itu) dan aku tidak akan mengkultuskan seseorang atas Allah”.

Sikap berlebihan lainnya adalah ta’asub (fanatisme). Bahkan Rasulullah mengatakan : “Siapa yang mati dalam fanatisme, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”

Fanatisme tidak hanya berlaku kepada sosok, tetapi kepada apapun yang seseorang dapat memiliki sikap itu. Bisa kepada mazhab, golongan, parti, lembaga, pemimpin, dll.

Karena efek negatifnya adalah : menutup pintu kebenaran, selalu menyalahkan orang lain, menolak pendapat dan pandangan berbeda, membuat seseorang berfikiran jumud, dan cenderung membela sesuatu membabi buta walau belum jelas kebenarannya.

Nasihat dari Imam Syafi’e, ada baiknya kita renungkan kembali : “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar”. Dan ia menegaskan, “Jika hadisnya shahih maka itulah mazhabku”. (para Imam itu sendiri, tidak fanatik pada pendapat mereka sendiri, dan juga melarang orang lain untuk fanatik pada pendapat mereka).

3. Terlalu memaksa diri dalam beribadah menurunkan semangat, dan terlalu menikmati kesenangan membutakan hati.

Rasulullah berkata : “Sesungguhnya agama ini sangatlah mudah. Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam beragama kecuali dia akan dikalahkan”.

Di antara keburukan yang ditimbulkan dari sikap berlebihan dalam beribadah adalah kebencian dan futur.

Jika misalnya, kita memaksa orang lain untuk beribadah dengan mengikuti standard yang berat, maka ada kemungkinan mereka akan membenci kita, atau bahkan membenci agama ini. Padahal Allah telah memudahkannya untuk manusia, agar mereka tidak merasa susah dan terbeban.

Dan jika ibadah yang berlebihan itu kita paksakan kepada diri sendiri, dengan standard yang cukup berat, maka tidak mustahil semangat yang berapi-api itu tiba-tiba meredup, dan kita kemudian terpental lantaran futur. Alias kehabisan energy atau motivasi akibat perasaan jenuh. Ini pula yang ditegaskan oleh Ibnu Hajar, menukil pernyataan Ibnu Bathal rahimahullah,

“ Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga malah meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan”.

4. Terlalu royal akan melahirkan perbuatan mubadzir, dan terlalu berhemat akan melahirkan kekikiran.

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al- Furqan: 64).

Namun Islam juga tidak melarang umatnya menikmati kemewahan-kemewahan hidup, seperti ajaran Brahma dan Nasrani yang melarang para pendetanya untuk menikmati hidup.

Akan tetapi Islam melarang kita untuk “tidak mau menikmati” atau “berlebihan dalam menikmati”. Seperti firman Allah SWT berikut ini :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah: 87).

Tabdzir atau berinfaq untuk hal yang diharamkan, dan Israf atau berlebihan dalam hal yang halal, keduanya dicela dalam ajaran Islam, sebagaimana dicelanya sifat Bukhl dan syuhh alias kikir dan pelit.





Bagaimana agar kita tidak terjebak dalam sikap berlebihan.

Dengarkan suara hati! Suara hati tidak pernah berbohong. Suara hati akan membantu kita untuk tidak terjebak dalam sikap berlebihan. Dan karenanya tanyailah selalu, dan dengarkanlah bisikannya selalu, untuk memastikan apakah tindakan dan perbuatan kita sudah sejalan dengan nurani dan kebenaran.

Kenapa suara hati ?

Karena dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk. “Istafti qalbaka” : mintalah fatwa kepada hatimu,” Kata Nabi. Dan di lain kesempatan beliau mengatakan, bahwa barang siapa yang amal baiknya membuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.

Artinya dalam banyak hal, semestinya orang bisa bertanya pada hati nuraninya, apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara standard apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia mempunyai ukuran kepatutan kemanusiaan-nya . Seperti yang difirmankan dalam ayat ini :

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams :8).

Karenanya, manusia bilapun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih bisa mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.


Ditulis dari majalah Tarbawi edisi 216 Th.11 Dzulhijjah 1430

Membuat kita bermuhasabah terhadap sikap hidup kita bukan ?

No comments:

Post a Comment