Oleh Ustadz Muslim Al-Atsari
http://www.almanhaj .or.id/content/ 2294/slash/ 0
Menyembelih binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun pada hari raya kurban.
Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya untuk
memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada
orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang
dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan
sebagainya.
Dalil hal-hal di atas adalah hadits-hadits dibawah ini.
“Artinya : Dari Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa di antara
kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging kurban yang masih
tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga”. Tatkala pada tahun
berikutnya, para sahabat bertanya : “Wahai, Rasulullah! Apakah kita
akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu?”
Beliau menjawab : “Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena
sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik),
maka aku menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan
itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no, 1974]
Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Makanlah, berilah makan,
dan simpanlah’, bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukkan
kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan, sehingga
hukumnya kembali kepada sebelumnya. [Lihat juga Fathul Bari, penjelasan
hadits no. 5.569]
Dari hadits ini kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melarang memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal
itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan kelebihan daging
kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam hadits
lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas
menghapuskan larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau
bersabda.
“Artinya ; Dahulu aku melarang kamu dari daging kurban lebih dari tiga
hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan kepada
orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang), makanlah semau
kamu, berilah makan, dan simpanlah” [HR Tirmidzi no. 1510, dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani]
Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata. :“
Pengamalan hadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para sahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka”.
Dalam hadits lain disebutkan.
“Artinya : Dari Abdullah bin Waqid, dia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging kurban setelah
tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal
itu kepda Amrah. Dia berkata, “dia (Abdullah bin Waqid) benar”. Aku
telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui
datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Beliau bersabda, ‘Simpanlah (sembelihan kurban) selama
tiga hari, kemudian shadaqahkanlah sisanya’. Setelah itu (yaitu pada
tahun berikutnya, -pent) para sahabat mengatakan : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya orang-orang membuat qirbah-qirbah [1] dari
binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan (membuang) lemak
darinya”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Memangnya kenapa?” Mereka menjawab, “Anda telah melarang memakan
daging kurban setelah tiga hari”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya
aku melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang
membutuhkan shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah,
simpanlah, dan bershadaqahlah’ [HR Muslim no. 1971]
Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan
bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan
dia bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan kepada
orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu
dibolehkan. Wallahu a’lam [2]
MENJUAL SESUATU DARI HEWAN SEMBELIHAN KURBAN
Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.
[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu)
Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4] (pada orang-orang
miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu)
kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung
riwayat Muslim no. 439/1317]
Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya,
kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari
kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : “Kami akan
memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348,
1317]
Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu,
kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari
binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai
upah, karena hal ini termasuk jaul beli. Dari hadits ini banyak ulama
mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang
kurban, termasuk menjual kulitnya.
[2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit
binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya”.
Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan
oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh
Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shagir, no. 6118. Namun di
dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia
seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan
hujjah. [5]
[3]. Hadits Abi Sa’id Al-khudri Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi
makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya,
namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits dha’if, riwayat Ahmad 4/15] [6]
PERKATAAN PARA ULAMA
[1]. Imama Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah
menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang
seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur
wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk
mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan
(kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh
(bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual
sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.
Beliau juga mengatakan : “Aku tidak mengetahui perselisihan di antara
manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari
binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan
harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih
banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan
untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai,
sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai”
[7]
[2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami
(Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak
boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab
kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq.
Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq,
bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga
(uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i
dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan,
kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya,
-pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan
kepada tukang jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah,
wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits
Cairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali di atas)
menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian
onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak
sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada
tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia
(tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama
dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya
sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis
Nihayatul Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat
tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit
dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama
mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan
selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha’
berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” [8] Abu Hanifah
membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang
bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan
(binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya
memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]
[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara
faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak
dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik
boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada
orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram
6/70]
Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging
kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur
(mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang
kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut
binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya,
rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan
uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat
Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]
KESIMPULAN
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
[1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan
sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan
memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan.
[2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
[3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.
a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah
b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu
Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan barang
juga merupakan jual-beli.
c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
[4]. Jika kulit dijual, maka –yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu ‘alam bish shawab.
Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan
serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya
mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan
masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan. Wallahu a’lam
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M,
Penulis Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo –Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
__________
FootNote
[1]. Qirbah : wadah air yang terbuat dari kulit
[2]. Shahih Fiqhis Sunnah 2/378, karya Abu Malik Kamal bin As-Syyid Salim
[3]. Hadyu : Binatang ternak yang mudah didapatkan, berupa onta, sapi,
atau kambing, yang disembelih oleh orang yang berhaji dan dihadiahkan
kepada orang-orang miskin di Mekkah. Hadyu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu itu 100 ekor onta. Hadyu ada yang hukumnya wajib, ada
yang sunnah. Lihat Minhajus Salik hal.396, 405 karya Syaikh Muhammad
Al-Bayyumi, Tahqiq Dr Shalih bin Ghanim As-Sadlan.
[4]. Jilal : kain yang ditaruh pada punggung onta untuk menjaga diri dari dingin dan semacamnya, seperti pakaian pada manusia.
[5]. Diringkas dari Tanwirul Ainain hal. 376-377
[6]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah 2/379, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
[7]. Al-Umm 2/351, dinukil dari Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adhahi wal
Idain hal.373-374 karya Syaikh Abul Hasan Musthofa bin Ismail
As-Sulaimani
[8]. Penukilan pendapat Atha di sini berbeda dengan penukilan An-Nawawi
–sebagaimana di atas- yang menyatakan bahwa Atha termasuk ulama yang
melarang penjualan kulit kurban. Wallahu a’lam
____________ _________ _________ _________ _________ _________ ________
No comments:
Post a Comment