http://www.almanhaj.or.id/content/1788/slash/0
Pertanyaan
Jawaban
Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya.
Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih
Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang dimaksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya.
Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar.
Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rahmat” [Al-A’raaf : 204]
Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain.
Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan.
Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini.
Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah di belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagai masalah dan dalil, di mana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut.
Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah dan diamlah”,
dari perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah”
Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalam keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits.
“Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”
Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus, maka keumumannya menjadi lemah, dan iapun siap dimasuki pengkhususan yang lain, atau dimasuki oleh dalil yang lebih kuat tingkat keumumannya dari hadits tadi.
Maka disini, hadits : “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”. Menurut kami menjadi hadits umum yang terkhususkan, dan pada saat itu juga hadits-hadits lain yang mengandung arti umum tentang wajibnya diam di belakang imam dalam shalat jahar menjadi lebih kuat (tingkat keumumannya) dari hadits di atas.
Adapun hadits Al-Alaa’.
“Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna”.
Maka hadits ini tidak marfu [1] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia merupakan pendapat Abu Hurairah, ketika ia menjawab dengan jawaban.
”Artinya : Bacalah dalam hatimu”
Dan kalimat : “Bacalah dalam hatimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya, yaitu membaca dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempat) huruf.
Dan kalaupun kita dianggap bahwa maksudnya adalah membaca dalam hati sebagaimana bacaan imam dalam shalat sirriyah atau bacaan ketika shalat sendiri. Maka pendapat seperti ini yang merupakan pendapat Abu Hurairah, bertentangan dengan pendapat sebagian besar shahabat, di mana mereka telah berselisih pendapat masalah ini.
Perselisihan ini bukan hanya terjadi setelah zaman para shahabat, tapi perselisihan ini justru dimulai dari zaman mereka. Pendapat Abu Hurairah ini harus dihadapkan dengan seluruh dalil yang terdapat dalam masalah ini, tidak boleh hanya berdalil dengan pendapat beliau saja, karena bertentangan dengan sebagian atsar para shahabat yang justru melarang membaca Al-Fatihah di belakang imam yang shalat jahar.
Adapun hadits.
“Artinya : Janganlah kalian membaca di belakang imam kecuali dengan Al-Fatihah”.
Kami berpendapat bahwa pengecualian ini ia merupakan suatu tahapan, dari tahapan-tahapan syari’at.
Barangsiapa yang hanya berdalil dengan hadits ini, maka terdapat perkara-perkara yang harus dia ketahui bagaimana ia bersikap terhadap hadits-hadits tersebut. Di antaranya ialah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian membaca”, adalah suatu larangan.
Dan perkataan beliau : “Melainkan Al-Fatihah” adalah pengecualian dari larangan tersebut. Apakah ini secara bahasa pengecualian ini menjelaskan adanya kewajiban yang dikecualikan (dalam hal membaca Al-Fatihah), atau hanya sekedar bolehnya ? Masalah ini harus diteliti lebih dalam lagi. Pendapat yang kuat, bahwa boleh membaca Al-Fatihah, bukan wajib.
Di samping itu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa orang yang mendapatkan ruku’nya imam berarti ia mendapatkan rakaat tersebut.
Bagaimanapun juga, dalam masalah ini kami mempunyai suatu pendapat, yang memperkuat pendapat jumhur, dan pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad. Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling adil. Dan dalam hal ini kami tidak ta’ashub (fanatik).
[Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
__________
Footnote
[1]. Hadist Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent
No comments:
Post a Comment