“Wahai para pembawa ilmu,” kata Ali bin Abi Thalib memulai wejangannya kepara para ngajiers, “Beramallah dengan ilmu kalian. Karena, yang disebut alim adalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang membawa ilmu tidak melebihi kerongkongan mereka. Ilmu mereka bertentangan dengan amal mereka. Batin mereka bertentangan dengan lahir mereka. Mereka duduk dalam halaqah untuk saling berdebat antara yang satu dengan yang lain. Hingga, ada seseorang yang marah kepada rekannya, lalu berpindah dengan yang lain dan meninggalkan rekannya. Amalan mereka dalam majelis itu tidak akan bisa naik kepada Allah Ta‘ala.”
Ngajiers, para ulama sangat perhatian untuk berbicara tentang ikhlas dan menekankannya. Karena itu adalah penyakit yang akan mencelakakan diri. Tentu, kita berlindung diri dari penyakit ini. Maka, harus kita waspadai selalu. Karena Sufyan telah memberikan peringatan, “Tidaklah seorang hamba bertambah ilmunya tetapi kecintaannya terhadap dunia juga bertambah, melainkan ia akan semakin jauh dari Allah.”
Abu Bakar Al-Ajuri ketika membahas sifat para ngajiers dan etika-etikanya menuturkan, “Hendaklah ia mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan peribadatan kepada-Nya. Sedangkan, ibadah tidak akan benar tanpa ada ilmu. Maka, inilah tujuan menuntut ilmu dengan keyakinan yang ikhlas dalam mencari. Ia tidak melihat ada kelebihan pada dirinya dalam mencari ilmu, tetapi ia melihat bahwa Allah telah memberikan keutamaan atas dirinya. Sebab, Allah telah memberikan taufiq kepadanya untuk mencari ilmu yang dapat ia gunakan untuk beribadah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”
Maka, sejatinya, menjadi ngajiers adalah sebuah anugerah dalam kehidupan. Bagaimana tidak, tidak semua orang dikasih kesempatan oleh-Nya untuk menjadi seorang ngajiers. Maka, bersyukurlah... karena keutamaan-keutamaan akan segera memberkahi hidup.
Akan tetapi, ketika tujuan lurus sebagai seorang ngajiers tercelai, maka perkataan Imam Nawawi berikut yang akan menjelaskan, “Ketahuilah bahwa keutamaan yang kami sebutkan terkait dengan menuntut ilmu tidak lain adalah bagi orang yang tujuannya karena mencari ridha Allah Ta‘ala, bukan tujuan duniawi. Barangsiapa yang mencari ilmu untuk mencari dunia seperti; harta benda, pangkat, kedudukan, popularitas, menarik perhatian manusia kepadanya, mengalahkan lawan debatnya, atau yang sejenisnya, maka hal tersebut adalah tercela.”
Oleh itulah, jika jiwa-jiwa suci kita mulai terkotori polusi syahwati, tertempeli lumut sum’ah dan perasaan ujub diri, maka mulailah lagi untuk memperbaiki niat, menundukkan nafsunya untuk ikhlas, menepis godaan-godaan syaithani dan berlindung dari kejahatannya yang merusak iman diri. Sehingga, niatnya kembali bersih, dan tertutupnya pintu masuk setan ke dalam jiwa.
Jangankan kita, para salafush shalih juga mengalami hal yang sama kok. Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Samak, ia berkata, “Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri berkata, ‘Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih susah bagiku dari mengobati niatku. Karena, niat itu selalu berbolak-balik pada diriku.” Jadi? Jadi, wajar saja, ketika niat kita terkadang menjadi tiba-tiba berbelok di tengah jalan. Itu sah saja. Toh, kita manusia biasa saja bukan? Seorang ngajiers yang keren, selalu berusaha me-reset niatnya menjadi yang terbersih dan tersuci. Dan itu butuh waktu yang tidak sedikit untuk menaklukkan segala godaan diri tersebut...
Terkadang, ada saja godaan dengan datangnya suatu kondisi yang demikian: yaitu ketika setan menjadikan riya’ dan rasa khawatir sebagai senjata untuk menghalangi ngajiers dari tujuannya. Ia menghalangi seorang mereka untuk menghadiri majelis ilmu dan terkadang juga menghalangi para dai untuk memberikan pelajaran-pelajarannya dengan alasan manusia akan terkesima dengan pembicaraannya dan hal tersebut akan menghantarkan kepada riya’ atau mereka kemudian terkesima dengan perkataannya dan tertakjub akan keahliannya.
Sungguh, para ulama membedakan antara riya’ yang menjadi motivasi awal dalam beramal, dengan seorang muslim yang menyelesaikan amalnya dengan ikhlas kemudian mendapati pada dirinya ada semacam rasa senang lantaran pujian manusia kepadanya setelah ia selesai beramal. Maka, hal ini, insya Allah, tidak membuat keikhlasan menjadi cacat. Karena di dalam sana, ia tengah bertarung dengan perasaannya sendiri. Maka, semoga hadits ini mampu menenteramkan:
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Dzar, bahwa ia berkata, “Rasulullah pernah ditanya, ‘Apa pendapatmu tentang seseorang yang melakukan amal baik, lalu manusia memberikan pujian kepadanya?’ Beliau bersabda, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang beriman.”
Maka, ketika perasaan riya’ dengan begitu dahsyat menghampiri diri, tetap ngaji kawan, tetaplah mencari ilmu, tetaplah untuk menggesa ketajaman intelektualitas dan iman diri. Sebagaimana wejangan dari Imam Nawawi berikut ini.
“Hendaknya tidak herhenti mengajar seseorang hanya lantaran niatnya tidak benar. Karena, yang diharapkan adalah niat ia bisa baik. Bisa jadi memperbaiki niat itu agak sulit bagi mayoritas para pemula karena kelemahan jiwa mereka dan kurangnya kesadaran tentang wajibnya memperbaiki niat. Maka berhenti dari mengajar mereka, akan menyebabkan terlewatkannya banyak ilmu. Padahal, yang diharapkan adalah ia bisa memperbaiki niatnya sebagai berkah dari ilmu di saat ia sadar dengan ilmu tersebut.”
Godaan adalah tamu tak diundang yang selalu datang dan membadai jalan kehidupan. Perlu pelindung diri agar tak terdebui akibat badai itu. Nah, sebegitu juga dalam lingkup aktivitas para ngajiers yang sarat keilmuan. Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis-nya memperingatkan tentang suatu kondisi yang suatu saat akan datang dan menghampiri para ngajiers.
“Terkadang Iblis membuat perangkap kepada orang yang biasa memberi nasihat seperti ini: ‘Orang seperti kamu tidak pantas untuk menasihati, tetapi yang pantas untuk itu adalah orang yang biasa bangun (malam).’ Lalu, hal itu membuatnya diam dan berhenti. Padahal, hal itu termasuk tipu daya Iblis. Sebab, ia berusaha melarang perbuatan baik. Iblis juga berkata: ‘Sesungguhnya kamu menikmati apa yang kamu sampaikan dan kamu merasa senang. Bisa jadi dalam ucapanmu ada unsur riya’, padahal berdiam diri adalah lebih selamat.’ Tujuan Iblis dari itu semua adalah untuk menutup pintu kebaikan.”
Ah, sungguh indah nian wasiat Imam Ghazali dalam Ayyuhal Walad-nya ketika beliau mengingatkan para ngajiers akan pentingnya mengevaluasi diri dan bertanya tentang motif yang mendorongnya untuk menuntut ilmu dan siap menanggung semua rintangannya. “Berapa banyak malam yang telah kamu hidupkan,” kata beliau, “Untuk mengulang ilmu dan mentelaah kitab-kitab. Kamu menahan diri untuk tidur. Aku tidak tahu apa motivasimu dari itu semua? Apabila niatmu untuk mencari kesenangan dunia, mengumpulkan kekayaannya, mencari kedudukan dan membanggakan diri dihadapan para sahabat dan orang-orang sepertimu, maka celakalah kamu dan celakalah kamu.
Namun, apabila tujuanmu dalam menuntut ilmu adalah untuk menghidupkan syari‘at Nabi, mendidik akhlakmu, dan menghancurkan nafsu yang senantiasa memerintahkan kejahatan, maka beruntunglah kamu dan beruntunglah kamu....”
Yah, beruntunglah kamu wahai para ngajiers. Beruntunglah, sungguh, tak banyak yang mau mengambil jalan penuh barakah ini. Sungguh, tak banyak yang mau mengambil jalan menuju jannah ini. Sungguh, tak banyak yang mau mengambil jalan yang di mana malaikat selalu menaungi dan mendoakan ini. Sungguh, beruntunglah, beruntunglah... walaupun ikhlas, memang sekata yang tidak mudah untuk diamalkan...
Maka, ikhlas, berkawankan pengorbanan... sebagaimana mencari ilmu, pengorbanan pun tak sedikit yang harus terkucurkan... harta, jiwa, raga, waktu, keluarga, semuanya... tapi di sana, kita bernikmat diri dengan perjuangan untuk mengikhlas diri... demi ridha-Nya...
Semoga menginspirasi....
--------------------------------------------------------------
Fachmy Casofa
fachmy_85@yahoo.co.id
http://writhink.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment