DUEL KIYAI SADRACH
Oleh: Jum’an
Pada  zaman penjajahan dulu, hiduplah seorang anak petani miskin dari Jepara  Jawa Tengah yang bernama Radin. Ia sempat menjadi pengemis sebelum  kemudian dipungut oleh seorang kaya yang tidak mempunya anak. Iapun  dikirim kepondok pesantren di Jombang Jawa Timur untuk memperdalam ilmu  agama. Disamping mempelajari agama Radin juga tertarik menekuni ilmu  kejawen serta ilmu mistik. 
Sepulang dari menyantri di Jombang dia  tinggal di Semarang  dimana ia bertemu dengan Tunggul Wulung, seorang kiyai yang sudah  berpindah agama  menjadi Kristen Protestan. 
Radin terpengaruh, lalu  berguru kepadanya dan kemudian memeluk Kristen. Oleh Tunggul Wulung ia  dibawa ke Jakarta dan dibaptis oleh pendeta Belanda Ader di Gereja Zion Batavia  dengan nama baptis Sadrach. Dia diberi pekerjaan sebagai pengedar  brosur-brosur agama Kristen keruma-rumah penduduk selama beberapa tahun.  Lalu ia dikirim kembali ke Jawa Tengah dan tinggal dirumah pendeta  Steven Philips di kota Purworejo.  
Sadrach  lalu berkelana ke desa-desa mendatangi kiyai-kiyai dan membujuknya  berpindah agama. Kalau tidak berhasil ditantangnya kiyai itu berdebat  didepan umum untuk mengadu ilmu. Taruhannya, kalau ia kalah ia bersedia  kembali memeluk Islam dan kalau menang sang kiyai beserta murid-muridnya  harus masuk Kristen. 
Dengan kepandaiannya bebicara, pemahamannya  tentang agama Islam dan Kristen, kejawen dan ilmu mistik tidaklah sulit  baginya menaklukkan  seorang kiyai desa dengan pengetahuan ala-kadarnya,  tidak melengkapi diri bahkan merasa tabu untuk berdebat, apalagi  didepan orang banyak dengan murid-murid duduk dibelakangnya.  Kadang-kadang duel perdebatan itu berjalan dramatis selama berhari-hari. 
Dua kyai pertama yang kalah dalam duel melawan  kiyai Sadrach adalah  kyai Ibrahim dan kiyai Kasanmetaram dari desa Sruwoh dekat Kutoarjo.  Merekapun lalu dibaptis, bahkan Kasanmetaram merelakan istrinya untuk  dinikahi oleh kiyai Sadrach. Kasanmetaram berganti nama menjadi Pualus  dan Tompo, isterinya yang kemudian dinikahi oleh Sadrach diberi nama  Deborah.
Itulah  sekelumit kisah kiyai Sadrach pendiri Gereja Kristen Jawa, yang oleh  para pengikutnya dianggap sebagai guru bahkan Ratu Adil di tanah Jawa.  Sedangkan bagi para misionaris, dia adalah kiyai Jawa yang ambisius dan  gila hormat, yang mencampur-adukkan ajaran gereja dengan kejawen dan  budaya lokal. Ia tetap memakai atribut kiyai dan gerejanya berbentuk dan  dinamai masjid. Sadrachpun  mendapat tentangan keras dan dianggap duri dalam daging oleh Belanda. 
Meskipun sampai sekarang komunitas Sadrach masih ada kebanyakan  anak-cucu mereka memilih masuk sekte-sekte Kristen yang lebih terkenal,  bahkan sebagian masuk katholik. Kiyai Sadrach lahir di Jepara 1835 dan  meninggal di Purworejo tahun 1924 pada umur 89 tahun.  
Cara  berdebat sampai takluk yang dilakukan oleh Kiyai Sadrach untuk  meng-kristen-kan umat Islam bukanlah cara yang objektif dan terpuji.  Demi untuk memenangkan perdebatan orang mencecar lawannya dengan  pertanyaan yang tidak berguna, penuh peluang menyinggung perasan dan  menyakitkan hati, mementingkan konfrontasi dan tidak menggambarkan  pencarian objektifitas dan kebenaran. 
Rosululloh melarang untuk  berdebat, umat-umat terdahulu binasa karena selalu mendebat nabi-nabi  mereka. Dalam Qur’an tertulis: ”Wa jaadilhum billatii hiya ahsan” -  Layanilah mereka dengan cara yang lebih baik. An-Nahl ayat 125.
 18 Bahaya berdebat dari berbagai nara sumber:
http://alqiyamah.wordpress.com/2010/02/05/salaf-shalih-memperingatkan-bahaya-debat/
http://alqiyamah.wordpress.com/2010/02/05/salaf-shalih-memperingatkan-bahaya-debat/
No comments:
Post a Comment