Walhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi
wasahbihi wa man tabi’ahum bi-ihsanin ilaa yaumiddin
PENGENALAN
Dewasa ini, di kalangan ummat Islam urban, khususnya yang tidak dibesarkan dalam tradisi ulama, penghormatan terhadap persona ulama’ atau Awliya’ Allah semakin berkurang. Islam dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya hanya dipandang sebagai sesuatu yang tekstual yang dapat dipelajari dengan cara membaca begitu saja di buku-buku ataupun sumber-sumber online.
Padahal sejak 1400 tahun yang lampau, tradisi keilmuan Islam amat mementingkan interaksi langsung antara sang guru, sang ulama dengan murid-muridnya. Dalam interaksi inilah, tersampaikan tidak hanya apa-apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat. Diriwayatkan bagaimana Imam Malik rahimahullah ketika meriwayatkan suatu hadits Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada murid-muridnya, begitu berhati-hati beliau, dan tak jarang hingga menangis, karena kerinduan mendalam pada persona Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang beliau sampaikan perkataan atau perbuatannya. Jelas adab beliau seperti ini jarang turut termaktub dalam kitab-kitab beliau, kecuali kalau kita berguru pada mereka-mereka yang memang memiliki jalur keilmuan hingga beliau, yang mewarisi tidak hanya ilmu beliau, tetapi juga adab beliau.
Keterasingan ummat Islam saat ini akan adab-adab seperti ini, salah satunya adalah karena derasnya arus reformasi menyesatkan dari salah satu aliran Islam yang muncul beberapa ratus tahun lalu di Najd [daerah timur semenanjung Arabia]. Aliran Islam ini, akhir-akhir ini dengan berbagai bentuknya, dengan dukungan pendanaan dan organisasi yang hebat semakin deras mencuci otak sekalangan ummat Islam hatta mereka yang tadinya dibesarkan dalam tradisi Ahlussunnah al Jama’ah. Akibatnya, tradisi luhur Ahlussunnah wal Jama’ah berupa adab penghormatan terhadap Awliya’ dan Ulama’ serta barang maupun anggota badan mereka, yaitu praktik “Tabarruk”, dianggap sebagai suatu perbuatan syirik oleh mereka, suatu dosa besar yang tak diampuni.
Benarkah tuduhan mereka seperti itu? Apa sebenarnya hakikat syirik, dan apa pula hakikat ber-adab serta bertabarruk? Samakah antara keduanya sehingga mereka yang menjalankan praktik tabarruk serta merta dapat dihukumi syirik?
Jadi, apakah syirk itu? Sebagai muslim dan mukmin, insha Allah, kita telah memahami, bahwa salah satu makna kalimat tauhid, Laa ilaha IllaLlah, adalah “laa ma’buuda illaLlah”, tidak ada yang patut disembah kecuali Allah. Juga tidak ada yang patut dijadikan tujuan kecuali Allah [”Laa Maqshuuda illaLlah”]. Sedangkan syirk, sebagai kebalikan dari Tawhid, adalah menjadikan sesuatu selain Allah, yaitu makhluk ciptaan Allah, sebagai sesuatu yang disembah pula di sisi Allah. Na’udzu billah min dzalik. Subhanallah. Maha Suci Allah yang tidak memerlukan seorang penolongpun di sisi-Nya, dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.
Berangkat dari makna tawhid dan syirk mendasar tersebut, agak naif, jika kemudian penghormatan pada hamba-hamba Allah yg shalih-, ditafsirkan sebagaii suatu perbuatan syirk.
ANTARA PENGHORMATAN DAN PENYEMBAHAN
Hormat terhadap Ulama dan Awliya Allah, perlulah kita bedakan antara “penghormatan” dengan “penyembahan atau pengabdian”, antara “respect” dengan “worship”. Seluruh Muslim tahu bahwa Atribut ketuhanan atau “Lordship” atau “Uluhiyyah” hanyalah milik Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi kita dapat dan bahkan diwajibkan dalam Islam untuk memberi penghormatan pada sesama makhluk Allah dalam level yang berbeda-beda, sesuai dengan sebab yang ditentukan Allah SWT.
Untuk memperjelasnya insya Allah, akan kita beberkan beberapa dalil nash shahih di bawah. Namun sebelumnya, izinkan saya memberikan sedikit ilustrasi.
Ketika, misalnya, saya diundang oleh tiga orang berbeda. Sebut saja misalnya 1) adik angkatan saya (”yunior”) si Fulan, 2) Pak Abdullah yang relatif sebaya (kolega) saya, dan 3) Prof. X, yang adalah supervisor kerja saya.
Jelas, dalam memenuhi undangan mereka masing-masing, tidak dapat saya perlakukan secara sama. Kepada si Fulan, yang notabene adalah yunior saya, mungkin saya cukup memenuhi adab (etika) standar, misalnya berpakaian menutup aurat, datang tepat waktu, sekalipun nyaris terlambat, atau malah boleh terlambat, asalkan saya menelponnya lebih dahulu.
Terhadap Pak Abdullah, yang relatif sepantar dan sebaya, saya harus tingkatkan adab saya. Selain, adab standar, saya harus berusaha tepat waktu, menjaga perasaan beliau agar tidak tersinggung, dll.
Kemudian untuk memenuhi undangan Prof. X (misal saat saya baru kenal dengan beliau), saya lebih mesti berhati-hati. Saya mesti menyiapkan jas, pakai dasi kalau perlu. Persiapkan apa yang mesti dibicarakan. Datang lebih awal. Lebih baik kita yang menunggu daripada ditunggu, dll. Apalagi, kalau yang mengundang adalah perdana menteri Belanda misalnya. Wah, tentu harus lebih awal dan penuh kehati-hatian dalam persiapannya.
Demikian pula perlakuan yang mesti kita berikan pada orang tua kandung kita, guru, dengan orang yang lebih tua yang baru kita temui di jalan. Jelas masing-masing ada beda adab. Terhadap orang tua kita cium tangannya, jangan membantah, dll. Terhadap guru kita taati nasihatnya dan berlaku sopan (bahkan hormat terhadap guru yg kafir pun adalah ajaran Islam). Adapun terhadap orang yang lebih tua yang biasa, kita bisa pakai adab hormat yang standar.
Demikian sekedar ilustrasi.
ADAB HORMAT TERHADAP ULAMA DAN AWLIYA: TINJAUAN NAQL
Adapun adab hormat terhadap Ulama atau Awliya Allah ini yang perlu diingatkan kembali. Sebetulnya dengan membaca ilustrasi dan contoh di atas, adalah wajar jika kita menaruh hormat pada para ‘ulama atau awliya Allah ini mengingat kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah. Berikut saya kemukakan beberapa dalil:
1. dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (5:323), dan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1:122), dan ia menyatakannya shahih, dan ini disetujui oleh Imam Al-Dhahabi, Nabi SallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Man lam yuwaqqir kabirana wa lam yarham saghirana fa laysa minna.”
“Barangsiapa tidak menaruh hormat pada orang yang lebih tua di antara kami atau tidak mengasihi yang lebih muda, tidaklah termasuk golongan kami”
Ini yang disebut “tawqir an-Naas”, menghormati manusia lain, dan mesti disesuaikan dengan status manusia tersebut, khususnya di mata Allah.
2. Dalam hadits lain
“anzilu al-nasa manazilahum”
“Berikan pada manusia sesuai dengan status/kedudukan mereka”
diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Introduksi di kitab Shahihnya, tanpa sanad, Sakhawi mengatakan dalam al-Jawahir ad-Durar bahwa hadits ini hasan, dan al-Hakim dalam kitab Ma’rifat ulum al-Hadits mengatakan bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Ibn Khuzayma.
Jelas tidak mungkin menyamakan semua orang, termasuk dalam penghormatannya. Penyamaan penghormatan akan mirip dengan paham Komunisme. Islam tidak mengajarkan demikian. Karena itu adalah wajar, jika misalnya, dalam suatu sesi salat Jumat, saya datang lebih awal, agar dapat membersihkan tempat salat misalnya semata karena khatib salat Jumat yang akan datang lain dari biasanya, atau datang lebih awal agar dpt lebih khusyu’ mendengar khutbah dari sang khatib yang lain dari biasanya.
3. Allah juga memerintahkan
“wa la tansaw al-fadla baynakum” (2:237)
“Jangan kau lupakan kelebihan/kehormatan di antara kamu”
4. “inna akramakum `indallahi atqakum” (49:13)
“Yang paling mulia di sisimu adalah yang paling taqwa di antaramu”
Jelas, kalau kita lihat ada seseorang yang mesti kita hormati karena taqwa-nya kepada Allah, ya, kita mesti menghormati dia sesuai dengan kehormatan yang Allah karuniakan padanya seperti tersebut dalam ayat ini.
Dalam suatu hadits Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam lainnya:
5. “Al-Ulama-u waratsatul Anbiya”
“Ulama adalah pewaris Nabi”, diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya sebagai mu’allaq, dan juga oleh Ahmad (5:196), diriwayatkan pula oleh Tirmidhi, Darimi, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn Majah, Bayhaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman (”Cabang-cabang Iman), dan juga oleh lainnya.
Sudah sepantasnya kita menghormati mereka dengan penghormatan setinggi-tingginya (yang tidak sampai pada level “worship”! “penyembahan”) .
PENTINGNYA BERSAHABAT DENGAN AWLIYA’ DAN ULAMA’: TINJAUAN NAQL
Pada bagian pertama telah diberikan sedikit ilustrasi bagaimana Imam Malik rahimahullah mengajarkan hadits kepada murid-murid beliau. Dalam tradisi Islam, esensi interaksi (atau dalam terminologi islamnya: SUHBAH, asosiasi, persahabatan) antara seorang guru dan murid, seorang ‘aalim dengan muridnya, tidaklah semata demi transfer ‘ilmu atau pengetahuan, atau “knowledge”, namun lebih daripada itu, adalah sebagai transfer “HIKMAH” atau “Wisdom”, sebagai esensi dan inti dari Pengetahuan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“Yu’tii alhikmata man yasyaau waman yu’ta alhikmata faqad uutiya khayran katsiiran wamaa yadzdzakkaru illaa uluu al-albaabi “ [QS Al Baqarah 2:269]
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki- Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam bahasa guru kami, Mawlana Syaikh Nazim Al-Haqqani qaddasAllahu sirrahu, Hikmah ini disebut pula sebagai Pemahaman atau “Understanding” . Menurut beliau, pemahaman adalah suatu anugerah atau karunia Allah. Pemahaman lebih dari sekedar penghafalan. Orang yang paham tidak sekedar hafal apa yang tersurat dari suatu teks keagamaan, baik itu Quran ataupun Hadits, tetapi ia juga faham apa yang tersirat di balik yang tersurat, dan mampu menderivasi dari pemahaman tersebut, aplikasi untuk kondisi dan situasi yang berbeda sesuai tuntutan ruang dan zaman.
Sebagaimana pula dengan hal-hal lain dalam dunia ‘sebab-akibat’ di alam fana ini, pemahaman atau hikmah ini tidaklah bisa didapat kecuali dengan mencari sabab/jalan untuk memperolehnya.
“fa-atba’a sababaan” [QS 18:85]
“…maka diapun menempuh suatu jalan.”
Beberapa kali kata “sabab” disebut dalam Surat Al-Kahfi. Ini menunjukkan pentingnya mencari jalan untuk mendapatkan sesuatu; tidaklah mungkin Allah Ta’ala mengaruniakan sesuatu tanpa kita terlebih dahulu mencarinya, kecuali bagi orang-orang tertentu yang Ia kehendaki.
Dan jalan/asbab beroleh hikmah itu, tiada lain adalah dengan berkhidmat pada ulama’ dan awliya’ sebagai pewaris Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam. Sebagaimana Allah Ta’ala perintahkan kita mengulang-ngulang doa berikut dalam salat-salat kita setiap hari:
“Ihdinas shirathal Mustaqiim… Shirathalladziina an’amta ‘alayhim ghayril maghdhuubi ‘alayhim wa lad-daalliin” [QS 1:6-7]
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan mereka yang Engkau karuniakan ni’mat, bukan mereka yang Kau murkai, dan bukan pula mereka yang tersesat”.
Allah Ta’ala memberikan petunjuk atau “hint” di sini, bahwa jalan lurus tersebut hanya dapat ditemukan dengan mencari dan berkumpul (baca: berinteraksi, bersuhbat, bersahabat) dengan orang-orang yang Ia SWT karuniakan ni’mat (baca: hidayah, taufiq dan hikmah, atau “shiratal mustaqiim” tadi) pada mereka, dan bukan berkumpul dengan mereka yang Ia murkai atau tersesat. Allah Ta’ala di sini, dalam menjelaskan “Shirathal Mustaqiim” tersebut tidak langsung serta merta menyebut Al Quran atau Al-Kitab [buku tertulis]. Al Quran atau Al-Kitab baru disebut pada ayat berikutnya di surat berikutnya:
“Alif Laaam Miiim. Dzaalikal Kitaabu Laa Rayba fiihi, Hudan lil Muttaqiin” [QS 2: 1-2]
“Alif Laam Miim, Inilah Al-Kitab yang tak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Allah Ta’ala tidak langsung menggandengkan “Al-Kitab” dengan “Shirathal Mustaqiim”, melainkan Ia SWT melampirkan syarat “Shirathal Ladziina an’amta ‘alayhim….” Jalan mereka yang Kau beri ni’mat….dst” sebelum beranjak ke Al Quran atau Al-Kitab.
Dan siapakah “Alladziina an’amta ‘alayhim…” “orang-orang yang Kau beri ni’mat” itu?
Menilik firman Allah Ta’ala lainnya:
“waman yuthi’i allaaha waalrrasuula faulaa-ika ma’a alladziina an’ama allaahu ‘alayhim mina alnnabiyyiina waalshshiddiiqiina waalsysyuhadaa- i waalshshaalihiina wahasuna ulaa-ika rafiiqaan” [QS. 4:69]
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Mereka yang diberi ni’mat oleh Allah itu tiada lain adalah para Nabi, Shiddiiqiin atau Awliya’ Allah, yaitu mereka yang benar dan menepati janjinya pada Allah di hari perjanjian di alam ruh [lihat QS 33:23] untuk taat pada-Nya dan pada Rasul-Nya, kemudian orang-orang yang syahid, yang menyaksikan kebenaran risalah Rasul, dan disusul hamba-hamba Allah yang salih. Ayat tersebut ditutup dengan “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqan”, “dan merekalah sebaik-baik teman”, yang menunjukkan sekali lagi pentingnya berteman, bersahabat, berinteraksi dengan para pewaris Nabi: ‘Ulama’ dan Awliya’.
SEBUAH ILLUSTRASI
Untuk menunjukkan pentingnya interaksi ini sebagai asbab masuknya hikmah dan pemahaman akan agama Allah, kita coba menengok kembali kisah suhbat antara KH Hasyim Asy’ari dengan salah satu guru beliau, Syaikhuna Kholil Bangkalan. Konon, almarhum KH. Hasyim Asy’ari saat nyantri ke almarhum Kyai Kholil Bangkalan, malah tidak menerima pelajaran apa pun secara formal, Cuma disuruh untuk menggembalakan ternak milik Kyai Kholil. Namun, seperti kemudian kita pahami dari sejarah, betapa pribadi Hasyim Asy’ari yang terbentuk adalah pribadi yang luhur dan mumpuni, dan beliau inilah pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang dan pendiri Nahdlatul Ulama. Bahkan, sepulang beliau dari Hijaz, beliau dikenal sebagai ulama’ ahli hadits yang memiliki ijazah (izin) untuk mengajarkan Sahih Bukhari. Dan setiap bulan Ramadan, di pesantren Tebu Ireng dirian beliau, beliau mengadakan majelis Sahih Bukhari, yang dihadiri banyak santri, termasuk mantan guru beliau, Mbah Kholil Bangkalan. Berikut saya kutipkan dari [1]:
[Awal Kutipan]
Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
[Akhir kutipan]
Artinya, dalam Islam kita diajarkan untuk terjadinya proses pemindahan ilmu dan hikmah secara sempurna, selain praktik-praktik pemindahan ilmu secara lahiriah diperlukan pula adab. Adab ini a.l. berupa ketakziman sang santri atau murid pada kyai dan pada shaykhnya yang telah dimuliakan Allah Ta’ala dengan hikmah dan pemahaman agama. Kepada para guru/shaykh/ kyai yang sholih dan taqwa ini, ketakziman murid bisa berbentuk “tabarruk” atau mengharapkan berkah, misal dengan mencium tangan sang kyai, dengan menggunakan barang-barang bekas digunakan oleh sang kyai, dll bentuk tabarruk. Dalam hal ini yang perlu dipahami adalah, bahwa kaum muslim yang melakukan “tabarruk” ini tetap paham dan yakin, bahwa sumber barokah adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun tangan Shaykh, atau sisa makanan sang kyai, bekas air wudhu’ kyai, sandal sang Guru, dll., adalah jalan/wasilah buat memperoleh barokah Allah. Barokah Allah ini bisa berupa mudahnya penyerapan ilmu, perbaikan akhlaq sang murid oleh Allah SWT, dll.
Esensi tabaruk sebenarnya adalah “cinta”. Ketika kita mencintai seseorang yang dicintai Allah, maka apa pun yang terkait dengan orang tersebut, kita pun mencintainya. Bukankah hal yang sama kita lakukan pula terhadap kekasih atau istri/suami yang kita cintai? Dan karena orang yang kita cintai tersebut, dalam hal ini Ulama’ atau Awliya’ adalah mereka yang dicintai dan mencintai Allah, mencintai mereka (dan atau apa pun yang terkait dengan mereka) insya Allah akan mengundang cinta Allah pada kita. Itulah esensinya.
Praktik “tabarruk” dan penghormatan ini sebetulnyalah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW bahkan sejak sebelum beliau SAW. Dan karena ulama yang taqwa adalah pewaris para Nabi (lihat tulisan bagian 1 yang lalu), adalah wajar kalau kemudian praktik tabarruk juga dilakukan pula pada orang-orang shalih ini. Sebagaimana Allah Ta’ala sendiri telah mengatakan (dalam QS 4:69 di atas) bahwa mereka (para Nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan salihin) adalah sebaik-baik teman, yang menjadi wasilah sampainya hidayah Allah, serta Hikmah bagi diri kita. Insya Allah.
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN RAMBUT DAN KUKU NABI
Para sahabat biasa berebut rambut Nabi sall-Allahu álayhi wasallam. Tidak hanya itu, bahkan mereka memakainya sebagai sarana penyembuhan. Bila ada orang yang sakit, mereka meminumkan air yang sebelumnya telah dialirkan ke bejana yang berisi beberapa helai rambut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Di antara sahabat bahkan ada yang menginginkan rambut Nabi ditaruh bersama jenazah mereka saat mereka dikubur, serta ada pula yang menaruh rambut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam di turban mereka, yang dengan barakah rambut ini, dengan izin Allah, mereka selalu memperoleh kemenangan di medan perang. Semua ini tidaklah mengurangi keyakinan mereka bahwa sumber utama kesembuhan ataupun kemenangan tentulah adalah Allah Ta’ala. Siapakah yang berani mengklaim memiliki iman yang lebih murni daripada para sahabat Nabi sallAllahu álayhi wasallam, sepeninggal Nabi? Tabarruk mereka didasari keimanan dan kecintaan mereka pada beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam, yang mereka yakini sebagai sebaik-baik ciptaan, serta kekasih Allah Ta’la (habiibullah) . Dan sebagian adalah seperti keseluruhannya. Bagi mereka melihat atau menyentuh anggota tubuh Nabi, adalah bagaikan melihat dan menyentuh Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam secara langsung. Maka, adakah Allah Ta’ala akan menolak doa dan hajat mereka yang mencintai Kekasih-Nya dengan menghormati dan mencintai bahkan anggota tubuh Kekasih-Nya yang telah wafat? Dengan keyakinan inilah, para sahabat bertabarruk dengan apa-apa yang terhubungkan kepada Nabi sall-Allahu álayhi wasallam sebagai wasilah doa mereka pada Allah Ta’ala. Mereka menggunakan apa pun yang mereka lihat terhubungkan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, apatah itu anggota tubuhnya, apatah itu, keluarganya, ataupun tempat-tempat maupun benda yang pernah beliau sentuh, seperti akan kita lihat pada bagian-bagian berikutnya. Insya Allah.
1. Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya pada Kitab l-libas (bab pakaian) dalam pasal berjudul “Tentang rambut abu-abu”, bahwasanya ‘Usman ibn Abd Allah ibn Mawhab mengatakan: “Keluargaku mengirim diriku pergi ke Ummu Salama dengan secangkir air. Ummu Salama membawa keluar suatu botol perak yang berisi sehelai rambut Nabi SallAllahu ‘alayhi wasallam, dan biasanya jika seseorang memiliki penyakit mata atau kesehatannya terganggu, mereka mengirimkan secangkir air kepadanya (Ummu Salama) agar ia mengalirkan air itu lewat rambut tersebut (dan diminum). Kami biasa melihat ke botol perak itu dan berkata, ‘Aku melihat beberapa rambut kemerahan’”.
2. Anas berkata, “Ketika Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam mencukur kepalanya (setelah hajj), Abu Talha adalah orang pertama yang mengambil rambutnya” (Hadits Riwayat Bukhari).
3. Anas juga berkata: “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melempar batu di al-Jamra, kemudian ber-qurban, dan menyuruh seorang tukang cukur untuk mencukur rambut beliau di bagian kanan lebih dulu, lalu memberikan rambut tersebut pada orang-orang” (Hadits Riwayat Muslim).
Dia berkata: “Talha adalah orang yang membagi-bagikannya” . (Hadits Riwayat Muslim, Tirmidhi, dan Abu Dawud).
Dia juga berkata: “Ketika Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam mencukur rambut kepalanya di Mina, beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikan rambut beliau dari sisi kanan kepalanya, dan bersabda: Anas! Bawa ini ke Ummu Sulaym (ibunya). Ketika para shahabat radiyallahu ‘anhum ajma’in melihat apa yang Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada kami, mereka berebut untuk mengambil rambut beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam yang berasal dari sisi kiri kepala beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan setiap orang mendapat bagiannya masing-masing. (Hadits Riwayat Ahmad).
4. Ibn al-Sakan meriwayatkan lewat Safwan ibn Hubayra dari ayah Safwan: Tsabit al-Bunani berkata: Anas ibn Malik berkata kepadaku (di tempat tidurnya saat menjelang wafatnya): “Ini adalah sehelai rambut Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. Aku ingin kau menempatkannya di bawah lidahku.” Thabit melanjutkan: Aku menaruhnya di bawah lidahnya, dan dia (Anas) dikubur dengan rambut itu berada di bawah lidahnya.”
5. Abu Bakr berkata: “Aku melihat Khalid ibn Walid meminta gombak (rambut bagian depan) Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan dia menerimanya. Dia biasa menaruhnya di atas matanya, dan kemudian menciumnya.” Diketahui bahwa kemudian dia menaruhnya di qalansuwa (tutup kepala yang dikelilingi turban) miliknya, dan selalu memenangkan perang. (riwayat Al-Waqidi di Maghazi dan Ibn Hajar di Isaba).
Ibn Abi Zayd al-Qayrawani meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata: “Khalid ibn al-Walid memiliki sebuah qalansiyya yang berisi beberapa helai rambut Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan itulah yang dipakainya pada perang Yarmuk.
6. Ibn Sirin (seorang tabi’in) berkata: “Sehelai rambut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang kumiliki lebih berharga daripada perak dan emas dan apa pun yang ada di atas bumi maupun di dalam bumi.” (riwayat Bukhari, Bayhaqi dalam Sunan Kubra, dan Ahmad)
7. Dalam Shahih Bukhari, vol 7, kitab 72, no. 784, Utsman bin Abd-Allah ibn Mawhab berkata, “Orang-orangku mengirim semangkuk air ke Umm Salama.” Isra’il memberikan ukuran tiga jari yang menunjukkan kecilnya ukuran wadah yg berisi beberapa helai rambut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Utsman menambahkan, “Jika seseorang sakit karena suatu penyakit mata atau penyakit lainnya, dia akan mengirimkan suatu wadah berisi air ke Umm Salama (dan dia akan mencelupkan rambut Nabi ke dalamnya dan air tersebut akan diminum). Aku melihat ke wadah (yang berisi rambut Nabi) dan melihat beberapa helai rambut kemerahan di dalamnya.”
Hafiz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, Vol. 10, hlm, 353, mengatakan: “Mereka biasa menyebut botol perak tempat menyimpan rambut Nabi itu sebagai jiljalan dan botol itu disimpan di rumah Umm Salama.”
Hafiz al-’Ayni berkata dalam ‘Umdat al-Qari, Vol. 18, hlm. 79: “Umm Salama memiliki beberapa helai rambut Nabi dalam sebuah botol perak. Jika orang jatuh sakit, mereka akan pergi dan mendapat barokah lewat rambut-rambut itu dan mereka akan sembuh dengan sarana barokah itu. Jika seseorang terkena penyakit mata atau penyakit apa saja, dia akan mengirim istrinya ke Umm Salama dengan sebuah mikhdaba atau ember air, dan dia (Umm Salama) akan mencelupkan rambut itu ke dalam air, dan orang yang sakit itu meminum air tersebut dan dia akan sembuh, setelah itu mereka mengembalikan rambut tsb ke dalam jiljal.”
8. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya (4:42) dari Abd Allah ibn Zayd ibn ‘Abd Rabbih dengan sanad yang shahih seperti yang dinyatakan oleh Haythami dlm Majma’ al-Zawaid, bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memotong kukunya dan membagikannya ke orang-orang.
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN KERINGAT RASULULLAH SALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM
1. Anas berkata: “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tinggal bersama kami, dan begitu beliau tidur, ibuku mulai mengumpulkan keringatnya dalam suatu bejana. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam terbangun dan bertanya, “Wahai Umm Sulaym, apa yang kau lakukan?” Dia (Umm Sulaym) menjawab, “Ini adalah keringatmu yang akan kami campur dalam parfum kami dan itu adalah parfum terbaik.” (Hadits Riwayat Muslim, Ahmad).
Ketika Anas terbaring menjelang wafatnya dia menyuruh agar sebagian dari bejana itu digunakan saat upacara sebelum penguburannya, dan memang dipakai seperti yang ia suruh. (Hadits Riwayat Bukhari)
Ibn Sirin juga diberikan sebagian dari bejana milik Umm Sulaym. (Hadits riwayat Ibn Sa’d)
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN SALIVA (AIR LUDAH) NABI DAN AIR WUDHU’ BELIAU
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang ini amatlah banyak. Antara lain dapat dilihat di karya Syaikhul Muhadditsiin Imam Ibn Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari 1989 ed. 10:255-256.
1. Dalam Bukhari dan Muslim: Para shahabat berebut mendapatkan sisa air wudhu’ Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam untuk digunakan membasuh muka mereka.
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata: “riwayat-riwayat ini merupakan bukti/hujjah untuk mencari barokah dari bekas-bekas para wali” (fihi al-tabarruk bi atsar al-salihin).
2. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam biasa menggunakan saliva-nya untuk menyembuhkan penyakit, saliva beliau dicampur dengan sedikit tanah, dan diikuti kata-kata:
“Bismillah, tanah dari bumi kita ditambah dengan air liur dari orang-orang yaqin di antara kita akan menyembuhkan penyakit kita dengan izin Tuhan.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah menyuruh setiap orang di Madina kemudian Makkah untuk membawa bayi-bayi mereka yang baru lahir, kepada siapa beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam membacakan doa dan memasukkan campuran nafas dan ludah (nafs wa tifl) beliau ke dalam mulut bayi-bayi itu. Beliau kemudian memerintahkan pada ibu-ibu mereka untuk tidak menyusui sampai malam.
[Hadits riwayat Bukhari, Abu Dawud, Ahmad, Bayhaqi dalam Dala’il Nubuwwah, Waqidi, dll].
Nama-nama lebih dari 100 orang Ansar dan Muhajirin yang menerima barokah khusus ini diketahui lengkap dengan isnadnya.
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN TANGAN DAN KAKI SUCI NABI SALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM
1. Hadits pertama Imam Ahmad yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dalam Musnadnya adalah: “Seluruh masyarakat Madina terbiasa untuk menjumput tangan Nabi dan berebut untuk meraih keperluan mereka dengannya.”
2. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, “Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, ketika sedang mengeluh, membaca tiga surat terakhir dari Quran, atas dirinya sendiri dan meniupkannya.” ‘Aisyah berkata pula, “Ketika sakitnya menghebat, aku membacakannya atas beliau dan menyapu beliau dengan tangan kanan beliau mengharapkan barokah lewatnya.”
3. Usama ibn Syarik meriwayatkan, “Aku datang untuk melihat Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika para sahabat sedang bersama beliau, dan mereka seperti terdiam, seolah-olah ada burung yang berada di kepala mereka. Aku memberi salam, dan duduk. (Kemudian seorang Badui datang dan bertanya yang dijawab oleh Nabi)… Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam kemudian berdiri dan orang-orang pun berdiri. Mereka mulai menciumi tangan beliau, dan aku mengambil tangan beliau dan menaruhnya di wajahku. Aku merasakannya lebih harum dari misik dan lebih sejuk dari air segar.”
[Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud #3855, Tirmidzi #2038 - hasan shahih, Ibn Majah (3436), al-Hakim (4:399), dan Amad (4:278). Al-Hafiz Imam Bayhaqi merefernya dalam cabang ke-15 dalam kitabnya Syu’ab al-Iman (cabang-cabang Iman), berjudul “Cabang ke-15 dari iman, menghormati Nabi, mengakui ketinggian kedudukannya, dan menghormatinya” (al-khamis ‘ashar min syu’ab al-iman wa huwa babun fi ta’zim an-nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wa ijlalihi wa tawqirihi) vol. 2 halaman 200 (#1528).]
4. Ibn ‘Umar menceritakan suatu cerita dan berkata, “Kami kemudian datang mendekati Nabi dan mencium tangan beliau.”.
[Hadits diriwayatkan oleh Ibn Majah di Sunannya, Kitab Adab, bab tentang mencium tangan orang lain; dalam Sunan Abu Dawud, Kitab Adab, bab mencium tangan dan dalam Musannaf Ibn Abi Shayba dengan dua sanad yang berbeda.]
5. Umm Aban. putri al-Wazi’ ibn Zari’ meriwayatkan bahwa kakeknya Zari’ al-’Abdi, yang adalah anggota utusan ‘Abd al-Qays, berkata: “Ketika kami datang ke Madinah, kami berlomba untuk menjadi yang pertama meraih dan mencium tangan dan kaki Nabi Allah … (hingga akhir hadits)”
[Hadits riwayat Abu Dawud, 41: 5206. Bukhari meriwayatkan dari Umm Aban hadits serupa dalam kitabnya Adab al-Mufrad: Kami berjalan dan seseorang berkata, Rasulullah hadir”, hingga kami meraih tangan beliau dan kaki beliau dan menciumnya.]
6. Burayda meriwayatkan bahwa seorang Arab Badui datang kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan bertanya, “Wahai Utusan Allah, berikan izin kepadaku untuk mencium kepalamu dan kedua tanganmu,” dan ia memperoleh izin itu. Dalam versi lain, dia meminta izin untuk mencium kepala dan kaki.
[Hadits diriwayatkan oleh al-Ghazali dalam Ihya’nya dan versi yang menyebut kaki dalam Mustadrak Imam al-Hakim dan di Ibn Muqri. Baik Hakim maupun al-’Iraqi menyatakan bahwa rantai hadits yang kedua shahih.]
7. Dari Safwan ibn ‘Asal al-Muradi: “Seorang dari dua orang Yahudi berkata ke temannya. “Bawa kami ke nabi ini hingga kami dapat menanyainya tentang sepuluh tanda Musa”… (Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab dengan lengkap) kemudian mereka mencium tangan dan kaki beliau dan berkata “Kami bersaksi bahwa engkau adalah seorang nabi…”
[Hadits diriwayatkan oleh Ibn Abi Shayba di Kitab Adab bab seorang pria yang mencium tangan pria lain saat menyalaminya, dan oleh Tirmidzi di kitab Adab dan ia menyatakannya hasan shahih, juga oleh Nasa’i, Ibn Maja dalam Kitab Adab, dan Al-Hakim menyatakannya shahih].
8. “Ketika kami bersama Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dalam suatu ekspedisi, seorang Badui datang dan meminta mukjizat. Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang mulia menunjuk ke sebuah pohon dan berkata ke Badui itu: “Katakan ke pohon itu bahwa utusan Allah memanggilmu”. Pohon itu bergoyang dan mencabut dirinya sendiri, dan datang ke hadapan Utusan Allah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang mulia, duduk, dan berkata, “Keselamatan bagimu wahai utusan Allah!” Kemudian Badui itu berkata, “Sekarang biarkan ia kembali ke tempatnya!” Ketika Rasulullah memerintahkan, pohon itu kembali ke tempatnya. Badui itu berkata, “Izinkan aku memujamu!” Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab, “Tak seorangpun boleh melakukan hal itu (haram).” Badui itu lalu berkata, “Kalau begitu aku akan MENCIUM TANGAN DAN KAKIMU.” Beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam MENGIZINKANNYA (jaa’iz). (dari al-Qadi ‘Iyad di kitab ash-Shifa’, 1:299, dan al-Bazzaar dalam Musnad, 3:49).
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN KULIT RASULULLAH YANG TERBERKATI
1. Diriwayatkan oleh Usayd ibn Hudayr: Abdurrahman ibn Abu Layla, mengutip Usayd ibn Hudayr al-Anshori, berkata bahwa ketika ia tengah berolok-olok dan bercakap-cakap dengan orang-orang hingga membuat mereka tertawa, Nabi menyodoknya di rusuknya dengan sebuah tongkat. Ia (Usayd) berkata, “Izinkan aku membalas.” Beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda,”Lakukan pembalasan.” Ia berkata, “Engkau memakai baju sedangkan aku tidak.” Nabi kemudian mengangkat bajunya, dan orang itu memeluk beliau dan mulai mencium sisi badan beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam.” Ia berkata: “Inilah yang aku inginkan, wahai utusan Allah!”.
[Hadits riwayat Abu Dawud kitab 41, no. 5205].
2. Ibn ‘Abd al-Barr meriwayatkan dalam Isti’ab fi Ma’rifat al-ashab bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, setelah melarang dua atau tiga kali penggunaan khaluq (sejenis perfum yang dicampur dengan saffron), dan melihat Sawad ibn ‘Amr al-Qari al-Ansari memakainya, mendorongnya di bagian tengah dengan sebuah jarida (batang pohon palem) dan ia (Sawad) tergores. Sawad meminta pembalasan; ketika Nabi membuka pinggangnya, ia (Sawad) melompat dan mencium pinggang Nabi.
Versi Ibn Ishaq di Sira, menyebutkan, bahwa Sawad berada dalam barisan menuju Badr saat terjadinya kejadian ini. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengatur barisan dengan tongkatnya (miqra’a) dan beliau mendorong pinggang Sawad dengannya, melukainya secara tidak sengaja, dengan kata-kata: “Luruskan dirimu dengan yang lain”. Sawad berkata, “Ya Rasulullah, engkau melukaiku, izinkan aku membalasmu.” Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberinya tongkat itu dan berkata, “Ambillah pembalasan.” Sawad mendekatinya dan mencium beliau di pinggangnya. Nabi berkata, “Apa yang membuatmu berbuat demikian, wahai Sawad?” Ia menjawab. “Wahai Rasulullah, waktunya telah datang untuk apa yang kau lihat, aku menginginkan perbuatan terakhirku di dunya ini adalah untuk menyentuhmu.”
3. Buhaysah al-Fazariyyah meriwayatkan: “Ayahku meminta izin dari Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kemudian beliau datang mendekatinya dan mengangkat bajunya, dan mulai mencium beliau dan memeluknya karena mencintainya… ”
[Hadits riwayat Abu Dawud, Kitab 9, no. 1665].
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN CANGKIR NABI
1. Hajjaj ibn Hassan berkata: “Kami berada di rumah Anas dan dia membawa cangkir Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dari suatu kantong hitam. Dia (Anas) menyuruh agar cangkir itu diisi air dan kami minum air dari situ dan menuangkan sedikit ke atas kepala kami dan juga ke muka kami dan mengirimkan solawat kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.”
[Hadits riwayat Ahmad, dan Ibn Katsir].
2. ‘Asim berkata: “Aku melihat cangkir itu dan aku minum pula darinya.”
[Hadits Riwayat Bukhari]
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN MIMBAR NABI
1. Ibn ‘Umar radiyAllahu ‘anhu sering memegang tempat duduk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam di mimbar dan menempelkan wajahnya untuk barokah.
[al-Mughni 3:559; al-Shifa’ 2:54, Ibn Sa’d, Tabaqat 1:13; Mawsu’at Fiqh ‘Abdullah ibn ‘Umar halaman. 52]
2. Dari Abu Hurairah, Jabir, Abu Imama, dan Malik: Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membuat hukum sunnah untuk bersumpah akan kebenaran di atas mimbarnya.
[Riwayat Nisa’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, dll, dikonfirmasikan oleh Bukhari].
Ibn Hajar berkomentar tentang hadits ini: dan di Makkah, orang bersumpah di antara Yamani dan Maqam Ibrahim [lihat Fath al-Bari, kitab komentar Sahih Bukhari, oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqalaniy] .
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN UANG YANG DIBERIKAN OLEH RASULULLAH
1. Jabir menjual seekor unta ke Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam memerintahkan Bilal untuk menambahkan seqirat (1/12 dirham) atas harga yang disepakati. Jabir berkata: “Tambahan yang diberikan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak akan pernah meninggalkanku,” dan dia menyimpannya setelah peristiwa itu.
[Hadits riwayat Bukhari].
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN TONGKAT MILIK RASULULLAH
1. Ketika ‘Abdullah bin Anis kembali dari suatu peperangan setelah membunuh Khalid ibn Sufyan ibn Nabih, Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam memberi hadiah kepadanya berupa sebuah tongkat dan bersabda kepadanya: “Itu akan menjadi tanda di antara kau dan aku di hari kebangkitan.” Setelah itu, ‘Abdullah ibn Anis tidak pernah berpisah dari tongkat itu dan tongkat itu dikubur dengannya setelah wafatnya.
[Hadits riwayat Ahmad 3:496, al-Waqidi 2:533].
2. Qadi ‘Iyad meriwayatkan dalanm bukunya asy-Syifa’, dalam bab berjudul “Penghargaan pada barang dan tempat yang terkait dengan Nabi”, bahwa setelah Jihjah al-Ghiffari mengambil tongkat Nabi dari tangan Utsman dan mencoba mematahkannya dengan lututnya, terjadi infeksi pada lututnya yang menyebabkan harus diamputasi, dan dia mati sebelum akhir tahun itu.
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN BAJU RASULULLAH
1. Jabir berkata: “Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam datang setelah ‘Abdullah bin Ubay dikuburkan dalam makamnya. Beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam memerintahkan agar mayatnya diangkat lagi. Beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam menaruh kedua tangannya pada kedua lutut ‘Abdullah, bernafas atasnya dan mencampurnya dengan air liurnya serta mengenakan pakaian beliau padanya.”
[Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
TABARRUK PARA SAHABAT DENGAN JUBAH RASULULLAH
1. Imam Muslim meriwayatkan bahwa ‘Abd Allah, budak yang telah dibebaskan dari Asma’ binti Abu Bakr, paman (pihak ibu) dari anaknya si ‘Atha’ (ibn ‘Atha’), berkata: “Asma’ mengutus ku ke Abdullah ibn ‘Umar untuk mengatakan. “Menurut berita yang sampai kepadaku bahwa kau melarang tiga hal: jubah yang bergaris-garis, kain sadel yang terbuat dari sutra merah, dan berpuasa penuh di bulan Rajab.” Abdullah berkata kepadaku. “Tentang apa yang kau katakan tentang puasa di bulan Rajab, bagaimana dengan orang yang berpuasa kontinyu? Dan tentang kain bergaris, aku pernah mendengar ‘Umar bin Khattab berkata bahwa dia mendengar Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda “Dia yang mengenakan pakaian sutra tidak memiliki bagian baginya di hari akhir.” dan aku takut garis-garis termasuk dalam larangan itu. Adapun tentang kain saddle merah, ini adalah kain sadel Abdullah dan warnanya merah.” Aku (’Abd Allah) kembali ke Asma’ dan memberitahunya tentang jawaban Ibn Umar, lalu dia berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah, ” dan dia membawaku ke jubah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat, dan berkata “Ini adalah jubah Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang disimpan ‘Aisyah hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi Allah sallAllahu ‘alayhi wasallam biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.”
[Imam Muslim meriwayatkannya dalam bab pertama di kitab pakaian, Bab al-Libaas].
Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim, karya beliau, juz 37 bab 2, “Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang shalih dan pakaian mereka (wa fii hadza al-hadits dalil ‘ala istihbab al-tabarruk bi aatsaar al-shalihin wa tsiyaabihim) .
SANDAL NABI DAN LUKISAN SANDAL DAN TAPAK NABI
Dalam kitab karya Imam Abul ‘Abbas Ahmad al-Muqri’ at-Tilmisaniy, yang berjudul Fath al-muta’al fi madh al-ni’al (Pembukaan untuk pujian yang paling tinggi atas sandal Nabi) disebutkan bahwa sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal sebagai an-Na’lu an-Nabiyyah, biasa dijadikan sarana tabarruk untuk memperoleh kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan. Dan di sini, maksudnya tentu saja bukan hanya sandal asli beliau yang jumlahnya hanya sepasang, tetapi citra atau lukisan dari sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dalam kitab tersebut, disebutkan pula bahwa pada saat stress atau kesedihan, seseorang dapat menempatkan citra/lukisan sandal Nabi tersebut di qalbu dan mata mereka untuk tabarruk. Citra/lukisan sandal Nabi dapat pula digunakan sebagai sarana tabarruk untuk menyembuhkan penyakit, sebagai pelega di saat kesempitan dan amarah, penyembuh bagi wanita hamil di saat melahirkan, perlindungan terhadap ‘mata jahat’, dan sebagai simbol keamanan dan perlindungan bagi kapal di lautan, perlindungan harta milik dari kehilangan, rumah dari bahaya kebakaran, juga bagi karavan dari bahaya serangan perampok. Orang-orang biasa menggunakan citra/lukisan Sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam untuk alasan-alasan tersebut, dan juga sebagai sarana memperoleh barakah tiada terkira baik di dunia ini maupun di akhirat.
Di antara para Ahli Hadits yang turut menggambar dan melukis Sandal Nabi yang barakah ini, serta yang sepakat pula akan barakahnya yang luar biasa, antara lain adalah Ibn Asakir dan muridnya Badr Fariqi, Hafizh Zaynu d-Din al-Iraqi dan putranya, Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi. Dan lazim pula diketahui bahwa para ulama Maroko berikut ini paling mahir dalam menggambarkan citra atau Mitsal/Naqsh dari Sandal Nabi, karena mereka tidak memiliki sandal Nabi yang asli: Ibn Marzuwa, Ab Bakr ibn al-Arabi, Hafiz Abu ar-Rabii’ah, Hafizh Abu Abdullah ibn al-Ibar, Ibn Rashedd al-Fahri, Ibn Jabir ‘Aashi, Ibn al-Bara at-Tuwsi, Abu Ishaq al-Undulusi. ‘Aalim Ibn Asakir mengambil gambarnya dari Ibn al-Haaj ‘aalim Maroko, dan keseluruhan ulama hadits setelah itu, mengambil gambarnya dari beliau (Ibn Asakir).
Suku dari Ibn al-Hadid menyimpan kedua Sandal Nabi, dan kemudian Sandal ini disimpan di Jami’ah Al-Ashrafiyyah, Damaskus. Pengembara dari Maroko, seperti Ibn al-Rasyiid datang ke Damaskus, dan mengambar pola/citra dari sepasang Sandal tersebut untuk dibawa pulang ke daerah tempat asalnya, bagi rekan-rekan senegerinya.
Para Ulama atau Awliya’ ini bertabarruk dengan sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam karena kecintaan serta rasa hormat mereka yang demikian dalam pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga merasa diri mereka lebih rendah daripada debu yang melekat di sandal beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sandal tersebut seolah-olah memberikan ilham pada diri mereka betapa tinggi kedudukan beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam di sisi Allah. Karena sebab-sebab inilah, mereka demikian teliti dalam mencatat lukisan dan citra sandal tersebut, dan terkadang mereka menempatkannya di turban mereka, untuk merasakan kepasrahan dan pelayanan penuh pada keagungan sang Rasul Allah yang mulia, sallAllahu ‘alayhi wasallam. Mereka juga menggantungkan lukisan Sandal tersebut di rumah-rumah mereka, untuk mencari barakah (tabarruk) daripadanya.
Tak heran, karena sebab-sebab itu pula, para penulis dan penyair dunia Islam memuji Sandal mulia ini, dan melukiskan perasaan cinta tak terhingga mereka bagi Sang Pemakainya, sallAllahu ‘alayhi wasallam. Imam Abu al-‘Abbas Ahmad al-Muqri’ mengumpulkan tulisan-tulisan ini dalam kitabnya yang disebut di atas, juga dalam karyanya yang lain, Azhar al-Riyad.
TENTANG JAM’IYYAH DAR AL-HADITS AL-ASRAFIYYAH DAMASKUS
[dikutip dari tulisan Syaikh G.F. Haddad]
Imam Muhyiddin An-Nawawi rahimahullah, memimpin Dar Al-Hadits al-Asyrafiyyah di Damaskus sepeninggal guru beliau, Abu Syaama di tahun 665 H. Dan beliau memegang kepemimpinan ini selama 11 tahun hingga wafatnya, tanpa menerima gaji apa pun.
Ibn as-Subki melaporkan dalam karya besarnya, Tabaqaat asy-Syafi’iyyah al-Kubra bahwa setelah ayahandanya, sang Imam besar, Faqih, dan Muhaddits (Ahli Hadits), Qadi al-Qudaat, Syaikhul Islam, ‘Ali ibn ‘Abd al-Kaafii Abu al-Hasan Taqiy ud-Din as-Subki (wafat 756 H) menjadi kepala Dar al-Hadits Al-Asyrafiyya di tahun 742 H, beliau biasa keluar rumah dan pergi ke masjid di larut malam untuk salat tahajjud, dan beliau biasa menangis serta menggosokkan wajah dan kepala beliau di sajadah (karpet salat) tempat Imam an-Nawawi biasa duduk, sambil membaca:
Wafī Dāri al-hadīthi lathīfu ma’nan
‘alā busut.in lahā asbū wa āwī:
‘Asā annī amassu bihurri wajhī
makānan massahu qadamu al-Nawāwī
Dan dalam Dar al-Hadits terdapat suatu makna halus
Di atas karpet di mana aku duduk dan berlindung:
Mungkin aku akan menyentuh dengan wajahku
Suatu tempat yang disentuh oleh kaki an-Nawawi
Di zaman, an-Nawawi, Dar al-Hadits memiliki koleksi asli Sandal Mulia Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sandal ini disimpan di dalam sebuah kotak kayu di atas Mihrab masjid di Dar al-Hadits. Faqih Mazhab Maliki, Muhaddits, Sejarah, dan Ahli Bahasa, Imam Abu Hafs al-Fakihani (wafat 734 H) mengunjungi Damaskus untuk mencari barakah sandal ini. Sang Muhaddits Jamal ad-Din ibn Hadidah al-Ansari meriwayatkan: “Saat itu aku bersama beliau (Imam Abu Hafs al-Fakihani) . Saat beliau melihat Sandal yang Paling Terhormat itu, beliau menengadahkan kepalanya dan mulai menciumi Sandal tersebut dan menggosokkan wajahnya ke Sandal tersebut. Air matanya mengalir, sambil membaca puisi berikut,
Falaw qīla lil-Majnūni: Laylā wa-waslahā
turīdu am al-dunyā wamā fī tawāyāha?
Laqāla: Ghubārun min turābi ni’ālihā
ahabbu ilā nafsī wa-ashfā li-balwāhā
Jika dikatakan pada Majnun yang tergila-gila akan Layla: Layla dan hubungan dengannya
Yang kau inginkan? Ataukah dunia dan apa yang ada di dalamnya?
Tentu dia akan menjawab: Sebutir debu dari Sandal Layla
Lebih kucintai dan obat ampuh bagi jiwaku”
[diriwayatkan oleh Ibn Farh di ad-Dibaaj al-Mudzahhab halaman 286]
Masjid tersebut dibumihanguskan kaum Tatar dan relik Sandal tersebut menghilang, tetapi Mihrabnya tetap lestari hingga zaman ini, dan berada di dalam masjid dari Sekolah persiapan Dar al-Hadits (pimpinan Syaikh Husayn Sabiyya yang melanjutkan kepemimpinan Syaikh Mahmud Rankuusi, yang melanjutkan kepemimpinan Muhaddits Syaikh Abu al-Khayr al-Miidaanii) , di Asruniyya Souk, di dekat Masjid Umawi, Damaskus, di mana penulis tulisan ini pernah diberi kesempatan untuk mengunjunginya dan berdoa di dalamnya.
TABARRUK PARA SAHABAT DAN UMMAT DENGAN SANDAL NABI
1. Bukhari dan Tirmidhi meriwayatkan dari Qatada: “Aku bertanya pada Anas untuk mendeskripsikan sandal milik Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, dan dia menjawab: Setiap sandal memiliki dua tali pengikat”, dan dari ‘Isa bin Tahman: “Anas mengeluarkan sepasang sepatu dan menunjukkannya pada kami. Sepatu-sepatu ini tidak memiliki bulu.” (kebiasaan Arab adalah untuk tidak melepas bulu dari kulit yang dipakai sebagai bahan sepatu).
2. Diriwayatkan pula dari Ibn Sa’ad bahwa Anas adalah penjaga Sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
3. Bukhari, Malik, dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa ‘Ubayd ibn Jarih berkata ke ‘Abd Allah ibn ‘Umar: “Aku melihatmu memakai sandal kemerahan.” Ia menjawab, “Aku melihat Nabi memakai sandal dengan tanpa bulu dan melakukan wudhu’ dengan memakainya, jadi aku suka memakainya.”
4. Al-Qastallani dalam kitabnya Mawahib al-Laduniyya berkata bahwa Ibn Mas’ud adalah salah seorang pembantu Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dan biasa membawakan bantal (wisada) kepada beliau, juga sikat gigi (siwak) beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam, dua sandalnya (na’layn) dan air untuk wudhu’nya. Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bangun, ia (Ibn Mas’ud) akan memakaikan sandal beliau pada beliau, dan ketika beliau duduk, ia akan membawa sandal itu dengan tangannya sampai beliau bangun dari duduknya.
Riwayat ini disebutkan pula oleh Imam al-Sâlihî dalam karyanya, Subul al-Huda wa’l Rashâd (8:318)
5. Qastallani menyebutkan riwayat berikut dari salah satu Tabi’in terbesar: Abu Ishaq (al-Zuhri) berkata, “al-Qasim ibn Muhammad (ibn Abu Bakr al-Shiddiq) berkata, “Salah satu barokah dari memiliki sandal yang serupa dengan sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam adalah barangsiapa memilikinya untuk tabarruk, akan terjaga dari hasutan pemberontak dan dari penguasaan musuh, dan akan menjadi penghalang terhadap mata jahat orang yang hasud. Jika seorang hamil membawanya dengan tangan kanannya, akan dimudahkan proses persalinannya dengan kekuasaan Allah.”
6. al-Qastallani juga berkata bahwa Abu al-Yaman ibn ‘Asakir menulis suatu volume buku khusus tentang lukisan dari sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, demikian pula Ibn al-Hajj al-Andalusy. Dia meriwayatkan dari seorang Shaykh Wali bernama Abu Ja’far Ahmad ibn ‘Abd al-Majid:
“Aku memotong pola sandal ini untuk seorang muridku. Dia datang kepadaku suatu hari dan berkata, “Aku melihat keajaiban kemarin dari barokah sandal ini. Istriku menderita karena sakit yang hampir merenggut nyawanya. Aku menaruh sandal ini pada tempat sakitnya dan berdoa, “Wahai Allah, tunjukkan padaku barokah dari pemilik sandal ini.” Allah menyembuhkannya pada tempat yang sakit itu.”
7. Al-Munawi dan Al-Qari’ menyebutkan dalam kitab Syarah (komentar) mereka atas kitab karya Imam Tirmidzi, yaitu Asy-Syama-il (suatu kitab yang berisi penjelasan tentang sifat-sifat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam) bahwa Ibn al-‘Arabi berkata bahwa sandal merupakan bagian dari pakaian para Nabi, dan bahwa orang-orang meninggalkannya semata karena lumpur yang melekat dari tanah mereka. Ia (Ibn al-‘Arabi) juga menyebutkan bahwa salah satu nama dari nama-nama yang dimiliki Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam di kitab-kitab kuno adalah Sahib an-Na’layn atau “Pemilik sepasang sandal.”
8. Imam Abu Ishâq Ibrahîm ibn Muhammad ibn Khalaf al-Sullamî, terkenal sebagai Ibn al-Hâjj, mengumpulkan pujian yang telah ditulis para penulis dan penyair tentang Sandal Nabi.
9. Imam dan ahli hadits (Muhaddits) Abû al-Yumn `Abd al-Samad ibn `Abd al-Wahhâb Ibn `Asâkir dari Damascus ( wafat 686 H), yang dimakamkan di Baqi’, Madinah, menulis suatu tulisan berjudul “SKETSA SANDAL NABI sallAllahu ‘alayhi wasallam” (Timthâlu Na`l al-Nabiyy), yang juga diterbitkan.
10. Mujtahid besar Imam Sirâj al-Dîn `Umar ibn Raslân al-Bulqînî juga memberi perhatian khususnya pada Sandal Nabi.
11. Shaykh Yusuf al-Nabahani membacakan puisi berikut tentang sepasang sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam:
wa na`lun khada`na haybatan li waqariha
fa inna mata nakhda`u li haybatiha na`lu
fa da`ha `ala a`la al-mafariqi innaha
haqiqataha tajun wa surataha na`lu
Sandal yang kepada kemuliaan agung pemiliknya kita berserah diri
Karena hanya dengan berserah diri pada keagungannya kita bangkit:
Karena itu, tempatkanlah di tempat tertinggi karena ia
Pada hakikatnya suatu mahkota, walau bercitra sebuah sandal.
Beliau juga berkata:
Sungguh aku melayani pola Sandal sang Mustafa
Hingga aku boleh hidup di dua alam di bawah naungan perlindungannya
12. Dan saat Imam al-Fakhani pertama kali melihat sepasang sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam (lihat tulisan tentang Dar Al-Hadits Al-Asyrafiyya di atas) beliau membacakan puisi berikut:
wa law qila li al-majnuni layla wa wasluha
turidu am al-dunya wa ma fi zawayaha
laqala ghubarun min turabi ni`aliha
ahabbu ila nafsi wa ashfa li balawaha
Dan jika si Majnun terhadap Layla ditanya: Adakah kau memilih
Kebersamaan dengan Layla, ataukah dunia dengan segala permatanya?
Tentu ia akan menjawab: “Debu dari tanah kedua sandalnya
Lebih dicintai jiwaku, dan obat paling ampuh baginya.”
13. Imam Syams ud-Dîn Muhammad ibn `Îsa al-Muqri’, menulis kitab berjudul “Kesejukan bagi Kedua Mata dengan Verifikasi Masalah Sepasang Sandal” (Qurrat al-`Aynayn fî Tahqîq Amr al-Na`layn)
14. Imam Abu l-‘Abbas al-Maqarri’ at-Tilmisaniy, wafat di Mesir menulis suatu buku paling tebal tentang hal ini, yang diberi judul Fath al-muta’al fi madh al-ni’al (Pembukaan untuk pujian yang paling tinggi atas sandal Nabi). Karya ini telah dipublikasikan, dan diringkas tiga kali, pertama oleh Radiyy al-Dîn Abu al-Khayr al-Qâdirî; yang kedua oleh Abû al-Hasan al-Dimintî; dan yang ketiga oleh Shaykh Yûsuf al-Nabahânî (semoga Allah merahmati mereka semua). Imam Abu l-‘Abbas juga menulis karya lain tentang Sandal Nabi berjudul Azhar ar-Riyad.
15. Sejarahwan Salim al-‘Ayyashi menulis dalam buku catatan perjalanannya, bahwa seorang dari ulama Cordoba, menulis pula suatu karya tentang Sandal Nabi berjudul “Koleksi Mutiara dari Desain Indah dan Tulisan Unik tentang Karakteristik Lukisan Sandal Utusan Allah sallAllahu ‘alayhi wasallam” atau al-La’ali’ al-Majmû`a Min Bâhir al-Nizâm wa Bâri` al-Kalâm fî Sifat Mithâl Na`li Rasûl Allâh.
16. Ashraf ‘Ali al-Tahanawi menulis tulisan berjudul Nayl al-Syifa’ bi na’l al-mustafa (Memperoleh kesembuhan melalui sandal Yang Terpilih/Al Mustafa) dalam bukunya Zad al-Sa’id (Makanan bagi yang Berbahagia).
17. Muhaddits India Muhammad Zakariyya Kandhalwi berkata dalam terjemahan Syama’il Imam Tirmidzi: Maulana Ashraf ‘Ali Thahanawi Saahib menulis dalam kitabnya Zaadus Sa’id secara detail tentang barokat sepatu Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sandal Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memiliki banyak keistimewaan. ‘Ulama telah banyak mengalaminya. Salah seorang diberkati untuk dapat melihat Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dalam salah satu mimpinya, orang yang lain mendapat keselamatan dari musuh, dan apa yang diinginkannya terkabul.
18. Sultan Ahmad I (1590-1617), salah satu dari Sultan kekhalifahan Ottoman, yang mendirikan Masjid Sultan Ahmad (the Blue Mosque) yang terkenal dengan 6 minaretnya, dikenal pula sebagai seseorang yang sangat religius, dan sebagai seorang Waliyyullah. Beliau menulis puisi dalam bentuk lukisan tapak kaki Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan selalu membawanya di Turbannya hingga saat wafatnya. Puisi itu berbunyi sebagai berikut:
“Aku berharap diriku selalu membawa lukisan kaki suci dari Yang Mulia Nabi
Pemimpin dari seluruh Nabi-Nabi
Sang Mawar dari untaian tasbih Nabi-Nabi adalah Pemilik kaki suci itu
Wahai Ahmad, jangan kau ragu
Untuk menggosokkan wajahmu ke Kaki Suci Sang Mawar agung”
Saat Sultan Ahmad 1 naik tahta di tahun 1603, tengah berlangsung beberapa pemberontakan di dalam negeri, juga peperangan dengan Persia di Timur, dan dengan Jerman dan sekutunya di Barat. Setelah beberapa saat, kekuatan Jerman dapat dilemahkan, dan perjanjian damai Zitwaterok ditandatangani; pemberontakan Jelalii ditaklukkan di tahun 1611, dan sebuah pakta perjanjian ditandatangani dengan Persia. Dan tercatat pula beberapa kemenangan Angkatan Lautnya di Mediterranea.
[Diambil dari catatan singkat riwayat hidup Sultan Ahmad 1 di Maqam beliau, di dekat Masjid Sultan Ahmad 1, Istanbul].
A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Adab
No comments:
Post a Comment