Tawadhu’ merupakan sifat orang beriman yang paling menonjol secara umum
dan para penuntut ilmu secara khusus. Sebagaimana Allah telah
memerintahkan kepada Rasul-Nya.
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri di hadapan yang lain dan tak ada seseorang berbuat zhalim kepada yang lain.” (HR. Muslim)
“Pelajarilah ilmu,” kata Umar bin Khaththab, “Serta belajarlah bersikap tenang dan lemah lembut dalam menuntut ilmu. Bersikap tawadhu’ lah terhadap orang-orang yang kalian ajar. Bersikap tawadhu’ lah terhadap orang-orang yang mengajari kalian. Janganlah kalian menjadi musuhnya para ulama. Sebab, ilmu kalian tidak akan tegak dengan kebodohan kalian.”
Ketawadhu’an bukanlah malu-malu, tapi tahu diri. Dalam mencari ilmu, malu-malu untuk menanyakan hal-hal yang seharusnya kita tahu, malu-malu untuk tahu terhadap hal-hal yang seharusnya bisa meningkatkan pengetahuan kita, justru dilarang dengan amat pake sangat. Karena ilmu, takkan pernah datang dengan cara seperti itu. Sebagaimana kata Mujahid, “Ilmu tidak akan bisa diraih oleh orang yang pemalu dan orang yang sombong.”
Ketawadhu’an adalah penyebab dari datangnya hikmah dari Allah. Karena hikmah adalah buah terbaik dari jernihnya ilmu. Sebagaimana tertera dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih-nya Khatib Al-Baghdadi bahwa Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala mencintai orang alim yang tawadhu’. Dan Allah murka terhadap orang alim yang angkuh. Maka, barangsiapa yang merendahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan mewariskan hikmah kepadanya....”
So, para ngajiers harus sadar, bahwa ketawadhu’an sangat amat pake penting peranannya dalam mencari ilmu. Jangan sampai, karena sudah lama melanglang buana mengaji, hingga menjadikan diri sombong karena merasa telah banyak ilmu yang terdapati, tak baik itu... gak bagus itu kawan... hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam. Jangan deh sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu ngerasa sudah cukup dan berhenti menuntut ilmu. Parahnya lagi, ketika perasaan seperti ini telah muncul, serta merta dia tidak mendatangi majelis-majelis ilmu karena merasa bangga dengan ilmunya, merasa tinggi dari sahabat-sahabatnya, dan meremehkan semua manusia dengan alasan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh yang membutuhkan ilmunya. Awww... gak banget deh!
Terakhir, semoga paragraf ini bisa semakin memperjelas mengapa ketawadhu’an harus ada bagi para ngajiers. “Apabila Allah membuatnya populer di kalangan kaum mukminin sebagai orang yang alim dan orang-orang membutuhkan ilmu yang ia miliki,” begitu kata Imam Abu Bakar Al-Ajiry memulai wejangannya dalam kitabnya Akhlaqul Ulama’, “Maka ia harus menanamkan sikap tawadhu’ terhadap orang yang alim dan orang yang tidak alim.
Adapun sikap tawadhu’nya terhadap orang yang memiliki ilmu setingkat dengannya, maka hal itu akan menumbuhkan rasa cinta di dalam hati mereka kepadanya, sehingga mereka pun akan mencintainya. Bila ia berpisah dengan mereka, maka hati mereka pun merasa kehilangan. Adapun, tawadhu’nya terhadap ulama, maka hal itu merupakan sebuah keharusan atas dirinya bilamana ia ingin memperoleh ilmu. Sedangkan, tawadhu’nya terhadap orang yang berada di bawahnya, maka hal itu merupakan kemuliaan ilmu baginya di sisi Allah dan di hadapan orang-orang yang berakal.”
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap tawadhu’ sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri di hadapan yang lain dan tak ada seseorang berbuat zhalim kepada yang lain.” (HR. Muslim)
“Pelajarilah ilmu,” kata Umar bin Khaththab, “Serta belajarlah bersikap tenang dan lemah lembut dalam menuntut ilmu. Bersikap tawadhu’ lah terhadap orang-orang yang kalian ajar. Bersikap tawadhu’ lah terhadap orang-orang yang mengajari kalian. Janganlah kalian menjadi musuhnya para ulama. Sebab, ilmu kalian tidak akan tegak dengan kebodohan kalian.”
Ketawadhu’an bukanlah malu-malu, tapi tahu diri. Dalam mencari ilmu, malu-malu untuk menanyakan hal-hal yang seharusnya kita tahu, malu-malu untuk tahu terhadap hal-hal yang seharusnya bisa meningkatkan pengetahuan kita, justru dilarang dengan amat pake sangat. Karena ilmu, takkan pernah datang dengan cara seperti itu. Sebagaimana kata Mujahid, “Ilmu tidak akan bisa diraih oleh orang yang pemalu dan orang yang sombong.”
Ketawadhu’an adalah penyebab dari datangnya hikmah dari Allah. Karena hikmah adalah buah terbaik dari jernihnya ilmu. Sebagaimana tertera dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih-nya Khatib Al-Baghdadi bahwa Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya Allah Ta‘ala mencintai orang alim yang tawadhu’. Dan Allah murka terhadap orang alim yang angkuh. Maka, barangsiapa yang merendahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan mewariskan hikmah kepadanya....”
So, para ngajiers harus sadar, bahwa ketawadhu’an sangat amat pake penting peranannya dalam mencari ilmu. Jangan sampai, karena sudah lama melanglang buana mengaji, hingga menjadikan diri sombong karena merasa telah banyak ilmu yang terdapati, tak baik itu... gak bagus itu kawan... hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam. Jangan deh sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu ngerasa sudah cukup dan berhenti menuntut ilmu. Parahnya lagi, ketika perasaan seperti ini telah muncul, serta merta dia tidak mendatangi majelis-majelis ilmu karena merasa bangga dengan ilmunya, merasa tinggi dari sahabat-sahabatnya, dan meremehkan semua manusia dengan alasan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh yang membutuhkan ilmunya. Awww... gak banget deh!
Terakhir, semoga paragraf ini bisa semakin memperjelas mengapa ketawadhu’an harus ada bagi para ngajiers. “Apabila Allah membuatnya populer di kalangan kaum mukminin sebagai orang yang alim dan orang-orang membutuhkan ilmu yang ia miliki,” begitu kata Imam Abu Bakar Al-Ajiry memulai wejangannya dalam kitabnya Akhlaqul Ulama’, “Maka ia harus menanamkan sikap tawadhu’ terhadap orang yang alim dan orang yang tidak alim.
Adapun sikap tawadhu’nya terhadap orang yang memiliki ilmu setingkat dengannya, maka hal itu akan menumbuhkan rasa cinta di dalam hati mereka kepadanya, sehingga mereka pun akan mencintainya. Bila ia berpisah dengan mereka, maka hati mereka pun merasa kehilangan. Adapun, tawadhu’nya terhadap ulama, maka hal itu merupakan sebuah keharusan atas dirinya bilamana ia ingin memperoleh ilmu. Sedangkan, tawadhu’nya terhadap orang yang berada di bawahnya, maka hal itu merupakan kemuliaan ilmu baginya di sisi Allah dan di hadapan orang-orang yang berakal.”
No comments:
Post a Comment